Setelah dilantik nantinya oleh Presiden, kelima pimpinan baru ini akan menghadapi sebuah pekerjaan rumah yang tak mudah yakni revisi Undang-undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.
Isu soal revisi menyita perhatian publik lantaran dianggap melemahkan KPK mulai dari adanya usulan pembatasan usia KPK, kewajiban izin penyadapan, kewenangan SP3, hingga kewenangan penuntutan.
(Baca: Delapan Capim KPK, mulai dari Polisi, Staf Ahli Intelijen, hingga Akademisi)
Persoalan itu pun sempat menjadi bahan pertanyaan untuk para calon pimpinan KPK pada seleksi di tingkat panitia bentukan pemerintah hingga Komisi III DPR.
Lalu, bagaimana pandangan para pimpinan baru KPK terkait poin-poin revisi UU KPK ini?
Berikut hasil rangkuman Kompas.com yang dihimpun dari data harian Kompas serta cuplikan berita yang telah dimuat Kompas.com beberapa waktu lalu:
1. Agus Rahardjo
- Tentang usia KPK
- Pembatasan perkara korupsi yang ditangani KPK
"Kalau operasi tangkap tangan, tidak bisa pilih-pilih kasus korupsi. Kalau di luar tangkap tangan, bisa saja KPK hanya menangani kasus korupsi di atas Rp 50 miliar. Namun, yang harus dipastikan, KPK bisa memaksimalkan fungsi koordinasi dan supervisi terhadap kasus-kasus yang ditangani kepolisian dan kejaksaan."
- Kewenangan penuntutan KPK
"Untuk efisiensi pengusutan kasus-kasus korupsi, saya setuju penuntutan tetap berada di bawah kendali KPK. Jika penuntutan dikembalikan ke kejaksaan, proses penuntutan bisa berjalan lambat dan kualitas penuntutan bisa kurang sempurna."
- Penyadapan
"Jika penyadapan harus izin ketua pengadilan, penyadapan berpotensi tidak efektif lagi untuk menangkap koruptor."
2. Basaria Panjaitan
Perwira tinggi Polri ini menyatakan dukungannya atas revisi Undang-undang KPK. Dia yakin DPR merevisi undang-undang itu bukan untuk melemahkan badan anti korupsi tersebut.
- Penyadapan
Menurut dia, beberapa pasal yang perlu mendapat perhatian dalam pembahasan revisi terutama soal wewenang penyadapan yang dimiliki lembaga antirasuah itu.
Basaria menganggap penyidik KPK tak perlu mengantongi izin dari pengadilan jika ingin melakukan penyadapan. Izin cukup dari pimpinan KPK.
- Penyidik independen
Basaria Panjaitan menolak adanya penyidik independen. Dia mengungkapkan bahwa penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus berasal dari Polri atau Kejaksaan Agung.
"Penyidik (KPK) haruslah penyidik kalau bukan dari kepolisian, (ya) dari kejaksaan," kata Basaria dalam seleksi wawancara dengan panitia seleksi beberapa waktu lalu.
Menurut Basaria, jenjang menjadi penyidik perlu pelatihan dan pendampingan yang matang. Ia khawatir penyidik independen akan menabrak prosedur saat bekerja karena minim pelatihan dan pengalaman.
Pengajar Sespimti Polri itu menuturkan, dirinya memerlukan waktu pelatihan lebih dari dua tahun untuk mendapat kepercayaan menyidik suatu kasus tanpa pendampingan atasan.
"Bayangkan kalau penyidik independen, tiga bulan dilatih langsung bisa menyidik. Saya tidak setuju," ungkapnya.
- KPK hanya pendukung Polri dan Kejaksaan
Salah satu pernataan Basaria yang sempat menimbulkan kontroversi adalah saat dia mengusulkan agar KPK melimpahkan penanganan kasus kepada kepolisian atau kejaksaan ketika sudah ditemukan dua alat bukti terkait korupsi.
"Karena dia (KPK) sebagai trigger mechanism, maka ketika sudah ditemukan dua alat bukti di tingkat penyelidikan serahkan saja (kasusnya) ke polisi atau jaksa," kata Basaria.
3. Alexander Marwata
- Tentang usia KPK
"Harus dilihat kebutuhannya. Jika dalam usia 12 tahun ternyata korupsi belum hilang, apa kemudian KPK akan dihapus? Kan tidak juga."
"Sebetulnya kalau masalah besaran itu relatif. Kayak operasi tangkap tangan, tidak ada yang di atas Rp 50 miliar. Apakah setelah ditangkap KPK langsung diserahkan kepolisian ke kejaksaan? Itu kan harus ada pengaturan lagi. Kalau dibatasi pada masalah kerugian negara, saya pikir saya juga tidak sependapat."
- Kewenangan penuntutan
"Dibentuknya KPK supaya pemberantasan korupsi berjalan lebih efektif, efisien. Salah satunya menggabungkan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan. Selama ini kan kalau ada perkara di kepolisian atau kejaksaan, selalu bolak-balik berkas. KPK tidak demikian karena semua satu atap. Itulah mengapa pemberantasan korupsi oleh KPK lebih efektif. Oleh karena itu, saya melihat hal itu masih dibutuhkan oleh KPK."
- Penyadapan
"Kalau yang disadap hakim bagaimana? Susah kan. Tidak akan efektif. Kemudian bisa saja yang terjadi begini, saat izin penyadapan dari pengadilan keluar, orang yang diduga korupsi justru tidak lagi melakukan tindak pidana korupsi. Percuma juga kan. Kalau pemberitahuan, saya masih bisa menerima, tetapi bukan izin."
4. Saut Situmorang
"Memprioritaskan pencegahan korupsi. Kalau sampai terjadi operasi tangkap tangan itu bagus. Tetapi, patut diingat, kita kehilangan uang anggaran, proyek tidak jadi dan peringkat Indonesia secara global terpukul. Maka pencegahan harus diutamakan."
"Ibarat dokter gigi, merawat gigi agar sehat itu lebih mahal dan sulit dibandingkan dengan mencabut gigi yang saya analogikan sebagai penangkapan yang merupakan upaya terakhir penanganan korupsi."
5. Laode Muhammad Syarif
Syarif lebih menyinggung soal wacana KPK akan diberikan wewenang untuk menghentikan kasus melalui SP3.
Dia menjelaskan, pada awalnya KPK tidak diberi kewenangan SP3 juga karena khawatir disalahgunakan.
Apalagi, ada lembaga penegak hukum lain yang sering memanfaatkan SP3 sebagai gertakan dalam menyidik seseorang.
Meski demikian, di sisi lain SP3 bisa dibutuhkan KPK saat orang yang diproses secara hukum sudah tidak memungkinkan untuk dituntut, misalnya orang yang sakit dan meninggal dunia.
"Itu mengapa harus ada dua alat bukti di KPK, supaya hati-hati, menjaga agar tidak terjadi kezaliman," kata Syarif.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.