Beberapa pakar hukum pidana dan kriminolog berpendapat bahwa Nikita pada dasarnya tak termasuk sebagai korban. Nikita seharusnya menjadi bagian dari tindak kejahatan itu sendiri.
Lantas, apa penjelasan penyidik atas pendapat itu?
Kepala Subdirektorat III Direktorat Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri Kombes (Pol) Umar Surya Fana menjelaskan, pada dasarnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) hanya mengenal dua obyek, pelaku dan korban.
Obyek pelaku, berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UU TPPO adalah "setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah NKRI".
Adapun obyek korban diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UU yang sama. (Baca: Usai Penggerebekan, Nikita Mirzani Menangis Ingat Anaknya)
Bunyinya, "korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi dan atau sosial yang diakibatkan tindak pidana perdagangan orang".
Dalam perkara ini, lanjut Umar, O yang diduga sebagai mucikari serta F, manajer Nikita, telah memenuhi unsur sebagai pelaku tindak pidana perdagangan manusia. (Baca: Nikita Mirzani Bantah Terima Uang Kencan Sebelum Penggerebekan)
"Pelaku bertujuan mengeksploitasi korbannya, yakni Nikita. Dalam bagian penjelasan UU itu juga, salah satu jenis eksploitasi adalah pelacuran," ujar Umar kepada Kompas.com, Minggu (13/12/2015).
Tak berpengaruh
Sementara itu, di dalam undang-undang yang sama, perempuan yang dieksploitasi oleh pelaku diposisikan sebagai korban.
Unsur-unsur itu tercantum pula di dalam UU TPPO seperti yang dijelaskan sebelumnya. (Baca: Polisi Tangkap Nikita Mirzani Terkait Dugaan Prostitusi Online)
Bunyi penggalan kutipan yang ada di Pasal 2 ayat 1 UU TPPO (bukan Pasal 1 ayat 2 seperti disebutkan sebelumnya) adalah "...walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut...".
Tidak hanya di pasal itu saja, lanjut Umar, Pasal 2 dan Pasal 26 UU tersebut juga berisi penegasan bahwa walaupun tindak pidana perdagangan orang disetujui oleh korbannya, korban tetap tidak dapat dijerat pidana yang sama.
"Pasal 26 secara khusus ya, berbunyi, 'persetujuan korban perdagangan orang tidak menghilangkan penuntutan tindak pidana orang' begitu," ujar Umar.