Hal tersebut dilihatnya dari regulasi yang kerap berubah-ubah dan tidak pasti.
"Misalnya ada daerah yang tinggal satu calon, ada daerah yang tiba-tiba menjelang pemungutan suara didiskualifikasi. Ini jadi salah satu contoh persiapan yang kurang mantap dari penyelenggara pilkada," kata Sebastian di Jakarta, Sabtu (5/12/2015).
Ia juga memaparkan tentang peraturan baru terkait negara mencoba membantu menyuntikkan biaya kampanye untuk menekan biaya politik calon kepala daerah.
Hal tersebut, menurut dia, tidak banyak membantu. Sebab, para calon kepala daerah juga melakukan sosialisasi jauh hari sebelum kampanye.
"Pengalaman saya, negara ikut membantu setelah ada kepastian siapa calon. Tapi, 1-2 tahun sebelum itu kan harus sosialisasi."
"Saya sendiri menghabiskan biaya sangat besar untuk sosialisasi," ujar pria yang pernah mencalonkan diri sebagai calon Bupati Manggarai, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu.
Adanya calon kepala daerah yang pada saat-saat terakhir didiskualifikasi, menurut Sebastian, juga menjadi salah satu permasalahan dalam Pilkada Serentak.
Ia mengkhawatirkan, jika tidak diantisipasi dengan baik konflik pencalonan tersebut akan pecah pada hari H atau setelah hari H pemungutan dan penghitungan suara.
"Kita harap betul, dengan segala kekurangan persiapan yang ada selama ini, tetap saja kita akan punya ratusan kepala daerah baru setelah tanggal 9."
"Mereka itu orang-orang yang diharapkan bisa mengubah Indonesia mulai dari daerah," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.