JAKARTA, KOMPAS.com — Politisi PDI Perjuangan, Henry Yosodiningrat, ditolak menjadi anggota Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Pasalnya, dia dinyatakan melanggar kode etik kategori sedang oleh MKD.
Henry kena sanksi terkait kasus penyalahgunaan wewenang dengan menggunakan kop surat untuk mengintervensi penegak hukum dalam kasus tambang emas di Sulawesi Tenggara.
"Selama statusnya sedang menjalani sanksi, bagaimana mungkin dia dalam posisi yang akan menjatuhkan sanksi. Paradoks enggak boleh kan, enggak mungkin," kata Ketua MKD Surahman Hidayat seusai pengambilan putusan secara tertutup di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (24/11/2015).
Henry semula ditugaskan menggantikan M Prakosa di MKD. Penugasan ini dilakukan di tengah-tengah berjalannya kasus dugaan pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menyeret Ketua DPR Setya Novanto.
Politisi Partai Keadilan Sejahtera ini menambahkan, selanjutnya Sekretariat MKD akan mengirimkan surat ke Fraksi PDI-P untuk memberitahukan mengenai perkara ini.
Dia berharap, Fraksi PDI Perjuangan mengganti nama pengganti Henry secepatnya. (Baca: Sejumlah Fraksi Ganti Anggotanya di MKD)
"Hari ini juga akan dikirim surat ke fraksi dan pimpinan DPR terkait realisasi dan implementasi putusan itu. Begitu surat ini dikirim, ya secepatnya kita berharap (ditindaklanjuti)," kata Surahman.
Ketika diminta tanggapan, Henry tidak terima jika dirinya ditolak masuk MKD.
"Nggak ada ketentuan itu. Dasar hukumnya apa?" kata Henry lewat pesan singkat.
Dimutasi
Selain terancam gagal jadi anggota MKD, Henry juga mendapatkan sanksi dimutasi dari Komisi III yang membidangi hukum ke Komisi VIII yang membidangi sosial dan agama.
Henry Yosodiningrat itu dilaporkan oleh mantan Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RJ Soehandoyo pada September 2015 lalu.
Kasus tersebut seputar terpilihnya Henry sebagai komisaris utama sebuah perusahaan tambang emas di Sulawesi Tenggara.
Soehandoyo, yang sebelumnya adalah komisaris perusahaan itu, melaporkan Henry atas dugaan menyalahgunakan kop surat DPR untuk mengintervensi proses hukum di kepolisian soal kasus yang membelit Soehandoyo.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.