JAKARTA, KOMPAS - Membaca transkrip pertemuan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, para petinggi negara, dan pengusaha kakap dengan pihak Freeport tidak hanya membuat bulu kuduk merinding, tetapi juga mengakibatkan luka batin rakyat semakin dalam.
Terlepas dari validitas rekaman itu masih dilakukan, rekam jejak perilaku wakil rakyat telah terlalu sering menyayat hati nurani publik.
Tidak henti-hentinya mereka mendera rakyat dengan bengis, sistematis, dan dengan wajah dingin menyalahgunakan kekuasaan mereka.
Gelapnya mata hati menyuburkan niat mereka memperdagangkan pengaruh kekuasaan yang berasal dari rakyat justru untuk membuat rakyat semakin melarat.
Bahkan, dalam pertemuan itu, mereka tega melontarkan guyonan yang dirasakan bagai sembilu yang mengiris-iris rakyat yang masih mencoba bangkit dari gelimang lumpur derita.
Candaan itu, sebagaimana dikutip majalah Tempo edisi 23-29 November, sebagai berikut: "Freeport jalan, bapak itu happy, kumpul-kumpul kita golf, kita beli private jet bagus yang representatif".
Candaan itu mencerminkan atmosfer pertemuan yang arogan, hedonis, dan miskin empati.
Namun, Ketua DPR tak hanya terseret isu catut nama, ia juga diduga melakukan peran seolah-olah menjadi "juru tagih" dengan melayangkan memo kepada Dirut Pertamina agar memperlancar urusan negosiasi kontrak penyewaan tangki BBM milik PT Orbit Terminal Merak.
Skandal catut nama juga mengungkapkan pertarungan kepentingan kekuasaan yang sengit. Simtom tersebut sangat transparan dengan disuguhkannya pertentangan terbuka antara Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said dan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan.
Sudirman mengaku telah mendapatkan izin Presiden dan Wakil Presiden sebelum melaporkan rekaman pertemuan Ketua DPR dengan Freeport kepada Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD). Sementara itu, Luhut menyangkal dengan keras pengakuan Menteri ESDM.
Oleh sebab itu, sudah saatnya Presiden menunjukkan kepemimpinan yang tegas terhadap pembantu-pembantunya, terutama mereka yang ditengarai memiliki dosis interes pribadi jauh lebih besar daripada niat mengabdi kepada rakyat.
Dengan modal hati dan perilaku yang bersih, Presiden Joko Widodo tidak perlu takut menindak dengan tegas pembantunya yang bermain-main dengan pengaruh dan kewenangan yang diberikan kepadanya. Ia pasti sangat paham kearifan Solo yang berbunyi yen ora cluthak bisa galak atau sebaliknya cluthak ora galak. Maknanya, "orang itu (pemimpin), kalau bersih (jika tidak nggragas, pemakan segala/serakah), selalu mampu bersikap tegas".
Sementara itu, dalam kasus skandal catut nama, sidang MKD harus terbuka. Selain agar tidak masuk angin, diharapkan dapat mengungkapkan misteri yang masih menjadi teka-teki publik. Mengingat Setya Novanto pernah mendapatkan hukuman, meskipun ringan, dari MKD dalam kasus Donald Trump; apabila terbukti melakukan pelanggaran kode etik dalam kasus skandal catut nama, ia pantas mendapatkan hukuman lebih berat, yakni pencopotan.
Regulasi yang mengatur adalah Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2015 tentang Tata Beracara Mahkamah Kehormatan DPR RI Pasal 63, huruf C: "Sanksi berat dengan pemberhentian sementara paling singkat 3 (tiga) bulan atau pemberhentian sebagai Anggota".
Perdagangan pengaruh