Oleh: Khalisah Khalid
JAKARTA, KOMPAS - Tragedi asap dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi tahun ini telah jadi perhatian masyarakat yang sangat luas, baik di dalam maupun di luar negeri.
Publik makin paham akar masalah kabut asap yang setiap tahun menyambangi beberapa provinsi di Indonesia, khususnya Sumatera dan Kalimantan, yakni dari karut-marutnya pengelolaan sumber daya alam dengan pemberian izin begitu gencar kepada korporasi, dalam skala sangat besar. Termasuk titik api yang bersumber dari konsesi korporasi telah menjadi pengetahuan baru bagi publik.
Penyelenggara negara, dalam hal ini Presiden, pun mengakui ada kejahatan korporasi dalam kebakaran hutan dan lahan.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, meskipun masih berupa inisial, juga telah mengumumkan korporasi yang teridentifikasi harus bertanggung jawab karena ada titik api di wilayah konsesinya atau melakukan pembakaran.
Dalam perkembangannya, konsolidasi kekuatan modal bergerak untuk memengaruhi wacana publik. Pelan-pelan, isu kejahatan korporasi digeser.
Pelaku pembakaran hutan lahan kembali diarahkan dan menyasar masyarakat lokal, khususnya masyarakat adat.
Titik konsesi juga diarahkan berada di perkebunan masyarakat. Padahal, bertahun-tahun titik api ditemukan di konsesi perkebunan monokultur skala besar, terutama di lahan gambut.
Dalam periode Januari-September 2015 terdapat 16.334 titik api (Lapan) atau 24.086 titik api (NASA FIRM) pada lima provinsi: Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Riau.
Analisis data dan fakta kebakaran hutan dan lahan di lima provinsi itu sampai di bulan September 2015, Walhi menemukan bahwa titik api berada di dalam konsesi perusahaan: Kalimantan Tengah (5.672), Kalimantan Barat (2.495), Riau (1.005), Sumatera Selatan (4.416), dan Jambi (2.842).
Tentu kita tak menutup mata bahwa ada lahan masyarakat yang terbakar. Namun, fakta menunjukkan, sebagian besar berada di wilayah konsesi perusahaan, bahkan perusahaan dari grup besar.
Fakta lain, masyarakat lokal tiap tahun sudah banyak yang menjadi tersangka dan dihukum.
Di Riau, misalnya, ada 40 orang yang dipidana. Pertanyaannya, jika sudah banyak anggota masyarakat yang ditangkap, mengapa kebakaran hutan dan lahan terus terjadi?
Dari sini terlihat bahwa penegakan hukum selama ini tak mampu menjangkau pelaku utama.