Justru lebih mendesak adalah pembangunan infrastruktur jalan dan kereta api di luar Jawa.
Dengan infrastruktur cukup baik—meski terbatas seperti jalan raya—menjadi mungkin, misalnya, membawa warga terasing, seperti Suku Anak Dalam di Jambi yang belum lama ini dikunjungi Presiden, ke kebudayaan lebih tinggi dan peradaban.
Pasti masih banyak suku terasing semacam Suku Anak Dalam atau suku Kubu lain di banyak wilayah.
Bahkan, banyak warga bukan suku terasing yang tidak atau belum menikmati pembangunan karena infrastruktur jalan tak memadai sehingga sulit dilayani alat transportasi apa pun.
Mempertimbangkan berbagai poin itu, sudah saatnya perlu refleksi lebih jauh tentang makna pembangunan—termasuk dalam hal sarana transportasi, seperti kereta api cepat Jakarta-Bandung.
Kasus ini secara jelas memperlihatkan bukan hanya inkonsistensi dalam kebijakan dan praksis pembangunan, melainkan juga dalam kaitan dengan peningkatan kebudayaan dan peradaban.
Sejak pembangunan masa Orde Baru sampai era Presiden Jokowi, banyak kritik dikemukakan ahli.
Boleh jadi setiap masa kepresidenan ada kerangka dasar kebijakan pembangunan, tetapi realisasi dan praksisnya lebih sering didasarkan pada pertimbangan politis dan pragmatis.
Karena itu, pembangunan sering disebut kalangan akademisi dan budayawan sebagai tidak memiliki strategi kebudayaan yang jelas dan konsisten—atau bahkan strategi peradaban untuk memajukan seluruh bangsa Indonesia.
Hasilnya, pembangunan bukan hanya kian menciptakan disparitas ekonomi, tetapi juga kesenjangan sosial-budaya dan peradaban di antara suku-suku dan warga.
Dengan demikian, pembangunan belum berhasil melakukan transformasi ekonomi dan transformasi sosial menyeluruh seperti dianjurkan Sri-Edi Swasono.
Menurut Guru Besar UI ini, UUD 1945 tegas menggariskan kebijakan nasional untuk melakukan transformasi dalam kedua bidang kehidupan ini dalam rangka membangun peradaban Indonesia yang berharkat dan bermartabat tinggi (Keindonesiaan: Demokrasi Ekonomi, Keberdaulatan dan Kemandirian, 2015).
Sejauh ini, pembangunan dalam batas tertentu memang telah menghasilkan transformasi ekonomi.
Namun, arahnya belum sesuai dengan pesan UUD 1945 yang menekankan ekonomi kebersamaan dan ekonomi kerakyatan.
Sebaliknya, ekonomi Indonesia, aset dan sumber daya alam Indonesia kian terjerumus ke dalam penguasaan kapitalisme, pasar bebas, dan neoliberalisme global—semakin menjauh dari kedaulatan dan kemandirian ekonomi bangsa.