Teman saya, lulusan S-2 dari universitas negeri di Jakarta yang juga bekerja di hutan, pernah ditanyai seorang wartawan yang berkunjung ke rimba dengan penuh apriori, "Berapa gaji yang kamu terima untuk pekerjaan gila seperti ini? Kalau tidak besar, mana mungkin ada yang mau?"
Teman saya menjawab dengan jengkel, setengah bercanda, "Kalau untuk mencari banyak uang, saya mendingan piara tuyul saja, Pak, bukan bekerja seperti ini. Uang bukan tujuan saya."
Si penanya tentu tidak puas, tetapi bagaimana menjelaskan keindahan lautan kepada orang yang tidak pernah tahu apa itu laut.
Lagi-lagi memang kembali kepada tujuan dan keberanian kita menjalani tujuan itu. Keberanian untuk menjadi berbeda dengan ribuan orang yang mengantre pekerjaan di kota.
Pikiran-pikiran kami sering dianggap ajaib oleh kebanyakan orang. Sering juga setelah beberapa waktu bercakap-cakap mereka seperti disadarkan bahwa mereka juga ingin punya perasaan-perasaan seperti itu: melakukan hal yang disenangi, merasa bermanfaat.
Kekayaan batin akan senantiasa membuat kita bergairah. Namun, tentu gairah akan berlipat ganda kalau kita bisa memberi manfaat bagi orang lain.
Kerja sukarela tak hanya bisa dilakukan di hutan, di dunia politik, atau di medan perang, tapi bisa di mana pun.
Tidak perlu bermimpi menyelamatkan bumi karena itu tugas Superman dan James Bond.
Tak juga harus baik hati selemah Cinderella yang mengharap uluran Ibu Peri karena yang kita perlukan justru kekuatan dan keberanian.
Tidak juga sibuk cari pengakuan atas yang kita lakukan karena yang kita cari adalah penghargaan kita terhadap diri sendiri.
Tidak juga harus mengikuti petunjuk orang-orang terkemuka yang seolah berhati peri karena dalam beberapa kasus yang menumbalkan rakyat negeri ini ternyata malah didalangi mereka. Tak juga harus sepakat dengan saya.
Seperti kita tahu, setiap orang memiliki ketertarikan, prioritas, dan kemampuan sendiri-sendiri. "Jadilah diri sendiri", sering sekali dikumandangkan di mana-mana.
Sekali lagi, taruh gadget- mu, lihat lekat-lekat dunia di luar sana, lalu dengarkan hatimu. Sebab, kita perlu menghargai hidup yang hanya sekali ini.
Bayangkan jika suatu hari, di usia 75 tahun, tiba-tiba kita merasa hampa dan baru tersadar bahwa kita belum melakukan apa-apa untuk menghargai satu kali hidup kita.
Butet Manurung
Pendiri dan Direktur SOKOLA-Literasi dan Advokasi untuk Masyarakat Adat Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 November 2015, di halaman 6 dengan judul "Apa yang Salah dengan Volunter?".