Sementara para calon terdorong menempuh jalan pintas dalam merebut suara sehingga saat pemilu berakhir mereka baru sadar telah "ditipu" pemilih karena uang yang ditebar tidak berbuah suara.
Ini berbeda dengan Pemilu 2014. Saat itu, penyelenggara, partai politik, dan calon memiliki waktu cukup untuk mempersiapkan diri karena jarak waktu antara UU No 8/2012 disahkan dan hari-H pemungutan suara adalah 23 bulan.
Tentu saja penyelenggaraan Pemilu 2014 bukan tanpa masalah. Namun, karena persiapan berlangsung lama, masalah yang muncul bisa diselesaikan sebelum jadwal pelaksanaan tahapan habis.
Soal karut-marut daftar pemilih, misalnya, bisa diselesaikan dengan baik sehingga untuk pertama kalinya Pemilu 2014 menunjukkan tidak ada masalah daftar pemilih.
Demikian juga protes para calon yang kalah tak berlanjut ke mana-mana karena mereka tak punya bukti cukup untuk menghadapi hasil pindaian sertifikat hasil penghitungan suara di TPS atau formulir C1 yang dipublikasikan secara luas di laman KPU.
Belajar dari tiga penyelenggaraan pemilu sebelumnya, RUU Pemilu untuk pemilu serentak 2019 harus masuk dalam Prolegnas 2016.
Selekasnya DPR atau pemerintah berinisiatif menyusun RUU sehingga pada kuartal I-2016 RUU tersebut bisa mulai dibahas DPR bersama pemerintah.
Harapannya, RUU Pemilu akan disahkan awal 2017 sehingga penyelenggara, partai politik, dan para calon punya waktu setidaknya 30 bulan untuk menuju hari-H pemungutan suara yang diperkirakan jatuh pada Juni 2019.
Para pengamat pemilu internasional selalu berujar, tidak ada pemilu di dunia ini yang lebih rumit daripada pemilu legislatif Indonesia.
Pemilu legislatif di negeri ini bukan hanya pemilu terbesar dalam jumlah pemilih, jumlah partai politik peserta, juga jumlah lembaga yang diperebutkan dengan sistem yang berbeda.
DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota menggunakan sistem pemilu proporsional daftar terbuka, sedangkan DPD menggunakan sistem pemilu mayoritarian berkursi banyak.