Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 19/10/2015, 18:14 WIB

Oleh: Teuku Kemal Fasya

JAKARTA, KOMPAS - Kasus Singkil menjadi pelajaran bahwa tidak ada garansi keberagaman dapat bertahan jika tidak terus dijaga. Hal ini lantaran konsep keberagaman kerap terlihat abstrak ketika berhadapan dengan politisasi agama, seperti kasus izin pendirian rumah ibadah.

Efek pembakaran rumah ibadah di Singkil, Aceh, 13 Oktober lalu, telah berhasil diredam, tetapi sentimen telanjur melesat liar. Ribuan orang Kristen Singkil telah mengungsi ke beberapa kabupaten di Sumatera Utara. Percakapan nasional kembali terganggu oleh perbedaan agama. Kita kembali harus menanggung kerugian koyak moyak toleransi sesama anak bangsa.

DNA religio-antropologis

Kasus Singkil sesungguhnya tidak mencerminkan DNA religio-antropologis masyarakat. Kejadian ini bisa diantisipasi jika aparat pemerintah dan keamanan bertindak cepat dan bijaksana mencegah konflik.

Seruan untuk "membakar gereja tak berizin dan menumpahkan darah" dalam bentuk pesan Blackberry Messenger dan Whatsapp sudah tersebar luas lima hari sebelum hari-H. Saya sempat berkomunikasi dengan aktivis pro perdamaian Singkil agar menghubungi kepolisian untuk mencegah hal-hal buruk. "Polisi sudah tahu nyalah, Bang, tetapi kitatengok mereka tenang-tenang saja, engak berbuat apa-apa," katanya dengan perasaan gusar.

Isu "gerejanisasi" ini juga pernah memanas saat Pilkada Singkil 2012. Saat itu, isu digunakan untuk mendiskreditkan salah seorang kandidat bupati dalam bentuk kampanye hitam. Istilah "Kristenisasi" sesungguhnya tidak tepat untuk membahasakan kondisi keberagamaan Singkil karena pada saat yang sama terjadi juga "Islamisasi". Namun, Islamisasi dan Kristenisasi terjadi secara alamiah. Jatuh cinta sesama muda-mudi dan kemudian menikah menjadi alasan pindah agama. Itu semua jauh dari unsur ideologis-teologis, hanya ada unsur romantis-domestik. Bahkan, menurut Pendeta Erde Berutu, pemimpin Gereja Kristen Protestan Pakpak-Dairi Singkil, jumlah umat Kristen yang masuk Islam lebih banyak dibandingkan sebaliknya.

Situasi itu terbentuk karena Singkil memiliki sistem sosial-budaya unik dibandingkan etnis Aceh mayoritas. Sebagai etnis tempatan (host ethnic) yang berkembang di perbatasan Sumatera Utara dan bertemu dengan "etnis-etnis pendatang" (migrant ethnic) yang rata-rata non-Muslim dari Pakpak Bharat, Dairi, Tapanuli Tengah, dan Sibolga, kesadaran beragama masyarakat Singkil sangat kultural dan tidak puritan. Politik identitas keagamaan Singkil ramah pada perbedaan. Agama bukan palang solidaritas utama. Kekerabatan dan margalah yang lebih mengikat. Bukan hanya itu, etnis Pakpak Bharat dan Batak menganggap Singkil juga tanah leluhur sehingga wajar membangun rumah ibadah di tanah Opung (Muhammad Ansor, 2014).

Maka, tidak cukup tepat menyebut etnis Pakpak, Toba, Nias, dan Jawa yang hidup di Singkil sebagai pendatang. Mereka telah hidup bergenerasi dan di antaranya memiliki tanah adat di sana. Demikian pula identitas keagamaan mereka tidak tepat dianggap sebagai "etnis-etnis Kristen". Suku Pakpak Muslim yang tinggal di Singkil kerap diistilahkan Pakpak Suak Boang. Bupati Singkil saat ini, Safriadi, bermarga Manik, dari etnis Pakpak. Saya juga berteman dengan anggota DPR Singkil beretnis Toba Muslim, Frida Siska Sihombing. Demikian pula etnis Singkil yang Kristen bukan hal asing.

Nuansa konspiratif

Kasus ini tidak mencerminkan reaksi alamiah masyarakat. Kerusuhan sengaja dipantik untuk memberikan kesan Aceh tidak aman. Dalam beberapa hal, kasus Singkil mirip dengan Tolikara. Kerusuhan dimulai dengan menyebarnya selebaran tentang permusuhan terhadap agama lain. Fotokopi selebaran disebar di tempat terbuka sebagai tanda perang, seolah-olah dibuat oleh salah satu persekutuan gereja. Terbukti surat itu palsu dan menambah amunisi kemarahan masyarakat awam.

Sebelum aksi bentrok pada siang itu, ulama karismatis Singkil, Buya Batu Korong, meminta massa membubarkan diri. Aksi kekerasan hanya merugikan masyarakat Singkil. Buya mengatakan, jika sampai terjadi kerusuhan dan ada yang mati, itu bukan mati syahid, melainkan mati kafir. Anehnya, nasihat dari ulama besar Singkil tidak lagi diindahkan sehingga terjadi bentrokan sesama anak-buyut.

Korban yang tewas saat bentrokan di Desa Dungaran, Kecamatan Simpang Kanan, beralamat di Desa Bulohsema, Kecamatan Suro. Dungaran dan Bulohsema berjarak kira-kira 7 kilometer dari lokasi kejadian. Artinya, terjadi mobilisasi massa dari tempat jauh untuk melakukan tindakan perusakan dan kekerasan. Harus diselidiki lebih lanjut apakah gelombang massa ini bergerak spontan atau ada yang mensponsori.

Demikian pula sikap kepolisian yang "terlambat panas" dalam merespons kasus. Polisi yang kehilangan elan imparsialitasnya juga memunculkan ironi tersendiri. Tidak sepantasnya aparat keamanan negara tidak berlaku adil dan melindungi segenap kepentingan warga. Pemerintah daerah pun tidak proaktif dan persuasif menyelesaikan masalah: cenderung memakai pendekatan politis dan seremonial. Penandatanganan surat kesepakatan pembongkaran 10 gereja pada 12 Oktober oleh bupati dan unsur muspida hanya untuk memenuhi hasrat mayoritarian, bukan permufakatan damai. Tidak ada satu pun perwakilan gereja ikut diundang saat pertemuan itu.

Seharusnya kita belajar dari sejarah. Syekh Abdurrauf as-Singkily (1615-1693), ulama sufi-fikih sekaligus Qadhi Malik al-Adil empat sultanah Kerajaan Aceh, lahir di Kecamatan Simpang Kanan. Daerah itu saat ini tetap jadi "daerah non-Muslim".

Demikian pula pemakaman papan tinggi, Syekh Mahmud, di Labutua, Barus, Tapanuli Tengah, tetap kokoh dikelilingi perkampungan Kristen. Di kampung itu pula, filsuf eksistensialis Islam abad ke-16, Hamzah Fansuri, dilahirkan. Pengetahuan Islam para ulama itu tidak menjadikan mereka ekspansionis dan agresif, memaksakan tanah kelahiran dan masa tua mereka sebagai kampung Muslim.

Singkil dan Barus adalah oase bagi keberagaman dan toleransi selama ratusan tahun. Kerusuhan bernuansa agama ini patut disesalkan dan jangan lagi berulang. Untuk kerusakan sosiokultural dan material, negara harus paling depan menyelesaikannya secara bermartabat dan beradab. Penegakan hukum patut dilakukan agar provokasi sektarian tidak selalu mudah digunakan atas nama ekspresi keagamaan. Sisanya, biarkan masyarakat menyelesaikan masalahnya secara musyawarah dan kasih sayang.

Teuku Kemal Fasya
Dewan Pakar Nahdlatul Ulama Aceh; Pernah Meneliti Aspek Keberagaman Singkil Bersama Abdurrahman Wahid Centre dan Universitas Indonesia

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 19 Oktober 2015, di halaman 7 dengan judul "Memperbaiki Keberagaman Singkil".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Pakar Sebut Kesaksian 4 Menteri di Sidang Sengketa Pilpres Penting, Bisa Ungkap Politisasi Bansos

Pakar Sebut Kesaksian 4 Menteri di Sidang Sengketa Pilpres Penting, Bisa Ungkap Politisasi Bansos

Nasional
Prabowo Bilang Demokrasi Tidak Mudah, tetapi Paling Dikehendaki Rakyat

Prabowo Bilang Demokrasi Tidak Mudah, tetapi Paling Dikehendaki Rakyat

Nasional
Menko Polhukam Sebut Pengamanan Rangkaian Paskah Dilakukan Terbuka dan Tertutup

Menko Polhukam Sebut Pengamanan Rangkaian Paskah Dilakukan Terbuka dan Tertutup

Nasional
Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

Prabowo-Gibran Buka Puasa Bareng Golkar, Semeja dengan Airlangga, Agung Laksono, dan Akbar Tandjung

Nasional
Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Fahira Idris: Pendekatan Holistik dan Berkelanjutan Diperlukan dalam Pengelolaan Kawasan Aglomerasi Jabodetabekjur

Nasional
KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

KPK: Baru 29 Persen Anggota Legislatif yang Sudah Serahkan LHKPN

Nasional
Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Dewas Sudah Teruskan Aduan Jaksa KPK Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar ke Deputi Pimpinan

Nasional
Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Rekening Jaksa KPK yang Diduga Peras Saksi Rp 3 Miliar Diperiksa

Nasional
Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Kasus Kredit Ekspor LPEI, KPK Buka Peluang Tetapkan Tersangka Korporasi

Nasional
Pakar Hukum Dorong Percepatan 'Recovery Asset' dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Pakar Hukum Dorong Percepatan "Recovery Asset" dalam Kasus Korupsi Timah yang Libatkan Harvey Moeis

Nasional
Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Sidak ke Kalteng, Satgas Pangan Polri Minta Pasar Murah Diintensifkan Jelang Lebaran

Nasional
Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Puspen TNI Sebut Denpom Jaya Dalami Dugaan Prajurit Aniaya Warga di Jakpus

Nasional
Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Bea Cukai dan Ditresnarkoba Polda Metro Jaya Gagalkan Peredaran Serbuk MDMA dan Kokain Cair

Nasional
TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

Nasional
Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com