Di satu sisi, presiden menolak tetapi di sisi lain presiden justru meminta agar pembahasan revisi itu ditunda.
"Agar tidak muncul masalah di kemudian hari, Presiden Jokowi perlu memperjelas sikapnya terhadap isu yang satu ini. Menolak dan menunda sama sekali berbeda makna," kata Bambang dalam keterangan tertulisnya, Minggu (18/10/2015).
Ia mengatakan, masuknya revisi UU KPK ke dalam program legislasi nasional merupakan kesepakatan antara pemerintah dan DPR. Ketika draf revisi UU tersebut dikirim atas dasar inisiatif pemerintah ke DPR pada Juni 2015, Presiden Jokowi secara tiba-tiba menolak untuk membahasnya.
Saat itu, rencana revisi UU KPK sempat menimbulkan polemik di masyarakat.
"Namun, hingga detik ini tidak ada selembar pun surat pencabutan atau penarikan dilayangkan Istana ke DPR atas draf revisi UU KPK," kata Bambang.
Polemik pembahasan muncul kembali pada awal Oktober 2015. Sebanyak 45 anggota DPR yang berasal dari enam fraksi mengusulkan revisi UU KPK atas inisiatif DPR dan mengajukan draf saat rapat Badan Legislasi.
Namun, menurut Bambang, draf itu sebenarnya berasal dari pemerintah. "Karena itu, pemerintahlah yang seharusnya bisa menjelaskan mengapa ada draf pasal tentang pembatasan umur KPK hanya 12 tahun. Begitu juga dengan pembatasan KPK hanya menyidik kasus korupsi di atas Rp 50 miliar," ujarnya.
Politi Partai Golkar itu terkejut ketika pimpinan DPR dengan mengatasnamakan seluruh anggota dan fraksi membuat kesepakatan dengan Presiden untuk menunda pembahasan.
Sebelumnya tidak ada pembicaraan antara pimpinan DPR dengan pimpinan fraksi yang ada terkait penundaan itu.
"Bisa saja fraksi-fraksi memutuskan untuk meminta Presiden menarik atau mencabut rancangan revisi UU KPK itu. Dan bukan menunda pembahasan hingga masa persidangan berikutnya," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.