Adzkar mencontohkan, pada ancaman hukuman mati, dimana ada rentang waktu antara saat mereka ditembak dan saat mereka dinyatakan meninggal. Atau bahkan rentang waktu menunggu eksekusi mati yang bisa hingga belasan tahun.
"Menurut kami Ini adalah adalah bentuk-bentuk penyiksaan atau pun perlakuan sewenang-wenang dan tidak manusiawi yang dilakukan oleh negara," ungkap Adzkar dalam sebuah forum diskusi di kantor Komnas HAM Jalan Latuharhary No 4B, Jakarta, Jumat (16/201/2015).
Ia pun mendesak pemerintah untuk segera melakukan revisi KUHP maupun KUHAP karena keduanya dianggap sebagai benteng untuk mencegah penyiksaan dan perlakuan sewenang-wenang khususnya bagi terpidana. Revisi atas KUHAP, menurut Adzkar, harus dilakukan dengan memasukkan prinsip-prinsip anti-penyiksaan, terutama dalam sistem peradilan pidana di Indonesia, dan untuk memperluas pengawasan, kontrol dan monitoring di tempat-tempat penahanan yang merupakan lokasi paling rentan terjadi penyiksaan.
"Pemerintah juga harus mereformasi secara sistematis kondisi tempat tahanan termasuk yang berkaitan dengan over kapasitas dan fasilitas kesehatan," sambung dia.
Selain itu, ia juga meminta agar pemerintah dapat memastikan adanya akses investigasi dan penyelidikan jika terdapat kasus-kasus penyiksaan terhadap terpidana serta menyediakan secars komprehensif data laporan dan tuntutan terkait praktik-praktik penyiksaan.
"Harus juga dibentuk mekanisme pemantauan independen terhadap tempat tahanan di tingkat lokal maupun nasional," kata Adzkar.
Mekanisme pemulihan terhadap korban penyiksaan dan keluarganya, menurut Adzkar, juga sangat diperlukan. Tentunya dengan didukung peranan lembaga-lembaga yang memiliki kewenangan dalam melakukan perlindungan saksi dan korban.
"Itu juga harus didukung sumber daya yang layak," singkatnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.