JAKARTA, KOMPAS - Keinginan pemerintah dan DPR mengintegrasikan semua jenis pidana ke dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana masih menuai kontroversi. Generalisasi hukum pidana ini berpotensi mematikan undang-undang yang mengatur pemidanaan atas kejahatan khusus dan melemahkan upaya pemberantasan tindak pidana khusus yang selama ini sudah berjalan relatif efektif.
Sejak Indonesia merdeka tahun 1945, upaya merevisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan kodifikasi hukum pidana warisan pemerintah kolonial Belanda sudah dilakukan. Bahkan, itu menjadi obsesi hampir setiap menteri hukum di republik ini. Namun, upaya itu hingga kini belum berhasil.
Di luar ketentuan KUHP yang mengatur pidana umum, muncul terminologi hukum pidana khusus untuk memuat ketentuan yang tak diatur KUHP. Sejumlah kejahatan khusus yang dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa, seperti korupsi, pencucian uang, narkotika, terorisme, perdagangan orang, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, diatur dalam UU tersendiri, UU pidana khusus.
Publik selama ini sudah cukup familiar dengan terminologi pidana atau kejahatan khusus. Bahkan, untuk beberapa jenis kejahatan, mereka setuju untuk dikatakan sebagai kejahatan luar biasa. Hasil jajak pendapat Kompas mengungkapkan afirmasi publik terhadap kejahatan luar biasa ini. Hampir semua responden menyatakan setuju jika korupsi, pencucian uang, terorisme, narkotika, perdagangan orang, dan pelanggaran HAM berat dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa.
Sikap responden ini mencerminkan dinamika sosial yang bergerak begitu cepat, diikuti dengan tuntutan keadilan yang begitu kuat. Sementara rumusan KUHP seolah berhenti dan tertinggal jauh di belakang dinamika masyarakat. Akibatnya, KUHP sebagai instrumen dan barometer hukum pidana nasional tidak bisa lagi dijadikan sebagai dasar hukum untuk mengatasi problem kejahatan dan tuntutan keadilan.
Kontroversi
Salah satu semangat yang melekat di dalam upaya revisi KUHP adalah keinginan untuk mengintegrasikan semua tindak pidana ke dalam satu kodifikasi kitab undang-undang yang sistematis dan lengkap. Namun demikian, penyatuan tersebut justru dianggap rawan karena bisa menabrak ketentuan-ketentuan pidana yang sudah ditetapkan oleh UU pidana khusus. Akibatnya, pasal-pasal terkait pidana khusus yang akan diatur oleh KUHP sangat mungkin tumpang tindih atau bertentangan dengan ketentuan dalam UU pidana khusus.
Sebut saja tindak pidana pencucian uang yang selama ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. UU ini memberikan wewenang secara khusus kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menangani tindak pidana pencucian uang. Dalam revisi KUHP, peran PPATK tidak disebutkan sama sekali alias ditiadakan. Hal serupa terjadi pada tindak pidana korupsi dan kejahatan luar biasa lainnya.