Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Setahun DPR dan Kontroversinya

Kompas.com - 01/10/2015, 16:26 WIB
Ihsanuddin

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Masa tugas DPR RI Periode 2014-2019 telah genap berusia satu tahun pada hari ini, Kamis (1/10/2015). Sejak DPR dilantik pada 1 Oktober 2014, banyak kontroversi yang mengiringi kinerja lembaga perwakilan rakyat itu. Apa saja pro dan kontra itu?

1. Dua kutub koalisi
Saat baru dilantik, kegaduhan langsung terjadi karena adanya dua kubu di DPR, yakni Koalisi Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih. Dua koalisi ini adalah sisa-sisa hasil Pemilu Presiden 2014, dimana KIH mendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla dan KMP mendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.

Kegaduhan terjadi karena perebutan kursi Pimpinan DPR dan Alat Kelengkapan Dewan. Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD mengatur agar pimpinan dipilih secara paket, bukan sesuai perolehan suara tetinggi saat Pileg seperti periode sebelumnya. KMP yang terdiri dari Golkar, Gerindra, PAN, PPP, dan PKS, dan dibantu Partai Demokrat, lebih dominan daripada KIH yang merupakan gabungan dari PDIP, Hanura, PKB, dan Nasdem.

Dalam sidang paripurna pertama yang dipimpin anggota DPR tertua, Otje Popong Djunjunan, para anggota KIH mengajukan protes mengenai sistem pemilihan ini hingga maju ke meja pimpinan. Namun, protes mereka tidak diterima. Akhirnya, mereka memutuskan walk out dan memutuskan tak bertanggungjawab terhadap hasil paripurna. Popong akhirnya mengesahkan lima pimpinan DPR yang diusung KMP, yakni Setya Novanto (Golkar), Fadli Zon (Gerindra), Fahri Hamzah (PKS), Agus Hermanto (Demokrat), dan Taufik Kurniawan (PAN).

Setelah itu, KIH yang tidak menerima hasil sidang paripurna mencoba membentuk pimpinan DPR tandingan. Situasi dualisme ini berlangsung selama lebih dari satu bulan.

Baru pada Senin (17/11/2014), KIH dan KMP meneken kesepakatan damai setelah sebelumnya para tokoh senior dari kedua kubu melakukan upaya perddamaian. Konsekuensinya, KIH mendapatkan satu kursi pimpinan di setiap komisi dan AKD. Kesepakatan ditandatangani oleh Hatta Rajasa dan Idrus Marham (KMP) serta Pramono Anung dan Olly Dondokambey (KIH).

"Jadi tidak ada KMP dan KIH. Yang ada hanya DPR RI," kata Setya saat itu.

2. Tujuh proyek DPR
Wacana renovasi besar-besaran di Kompleks Parlemen, Senayan, pertama kali disampaikan oleh Ketua DPR Setya Novanto dalam pidato penutupan masa sidang III tahun sidang 2014/2015, Jumat (24/4/2015). Ia menyebutkan, Presiden Joko Widodo akan menandatangani peresmian pembangunan dan melakukan peletakaan batu pertama seusai penyampaian pidato nota keuangan pada 16 Agustus 2015.

Ada tujuh proyek yang direncanakan, yakni pembangunan museum dan perpustakaan, alun-alun demokrasi, jalan akses bagi tamu ke Gedung DPR, visitor center, ruang pusat kajian legislasi, ruang anggota dan tenaga ahli, serta integrasi kawasan tempat tinggal dan tempat kerja anggota DPR.

Presiden Jokowi menolak untuk meresmikan pembangunan tujuh proyek di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta. Jokowi ingin ada usulan yang jelas terlebih dahulu dari DPR sebelum meresmikan proyek ini.

Seusai menyampaikan pidato nota keuangan, Jokowi bersama Wapres Jusuf Kalla memang diajak meninjau museum di Kompleks Parlemen. Namun, Jokowi tidak menandatangani prasasti yang sudah disiapkan. Ia belum memberikan persetujuan atas tujuh proyek ini karena masih mengkaji ruang anggaran yang terbatas dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (R-APBN) 2016.

"Posisi terakhir minta dikaji kembali ke menteri terkait dan beliau minta dilaporkan segera. Secara resmi itu sikap presiden sampai hari ini," kata Sekretaris Kabinet Pramono Anung di Istana Kepresidenan, Kamis (20/8/2015).

Kini hampir seluruh fraksi merasa pembangunan 7 proyek ini layak dikaji ulang atau ditunda karena sifatnya yang tak begitu mendesak.

3. Dana aspirasi
Belum selesai kontroversi mengenai pembangunan tujuh proyek di Kompleks Parlemen, pada Juni 2015, DPR kembali mewacanakan program yang akan menelan banyak anggaran dalam APBN, yakni dana aspirasi daerah pemilihan. Dengan program ini, setiap anggota DPR akan mendapatkan dana hingga Rp 20 miliar per anggota untuk membangun dapilnya. Jika dikalikan 560 anggota DPR yang ada, total dana aspirasi mencapai Rp 11,2 triliun. Tim pengusul mengklaim bahwa dana ini akan berguna untuk membantu pemerintah melakukan pembangunan di daerah.

Usulan itu tidak hanya menyulut protes dari masyarakat, tetapi juga dari internal DPR. Fraksi Partai Nasdem merupakan fraksi pertama yang menyatakan penolakan. Langkah Nasdem diikuti dua anggota KIH, yakni PDI-P dan Partai Hanura.

Dengan diliputi pro dan kontra, akhirnya pemerintah memutuskan menolak usulan dana aspirasi ini dan tidak mengalokasikannya dalam APBN 2016. Pemerintah akan fokus pada sektor yang dianggap bisa menggerakkan perekonomian rakyat.

"Sudah final, tidak ada dana aspirasi pada RAPBN 2016," ujar anggota Tim Komunikasi Presiden Teten Masduki di Istana Kepresidenan, Senin (6/7/2015).

4. Kenaikan tunjangan
Kontroversi mengenai anggaran untuk DPR kembali mencuat, kali ini tentang permintaan kenaikan tunjangan anggota parlemen. Permintaan ini digagas Kesekretariatan DPR dan Badan Urusan Rumah Tangga DPR. Keduanya beralasan bahwa tunjangan para anggota sudah tidak naik selama dua periode. Tunjangan yang diusulkan naik itu mulai dari tunjangan kehormatan, komunikasi intensif, peningkatan fungsi pengawasan dan anggaran, hingga bantuan langganan listrik dan telepon.

Berbeda dari pembangunan 7 proyek dan dana aspirasi, usul kenaikan tunjangan ini langsung mendapat persetujuan dari Menteri Keuangan. Akan tetapi, kenaikan itu tidak sebesar usulan DPR.

Dengan kenaikan yang disetujui, total pendapatan per bulan anggota DPR akan naik mencapai Rp 10 juta per orang. Jika angka tersebut dikalikan jumlah anggota sebanyak 560 orang, maka tambahan anggaran perbulan untuk kenaikan tunjangan sebesar Rp 5,6 miliar.

Publik kembali mengkritik kenaikan tunjangan itu. Presiden Jokowi pun mengingatkan agar di masa seperti sekarang, di mana perekonomian tengah lesu, sebaiknya tidak ada pembicaraan mengenai kenaikan gaji ataupun anggaran.

Setelah itu, hampir semua fraksi menyatakan penolakan. Mereka menilai kenaikan tunjangan tidak tepat dilakukan dalam kondisi ekonomi seperti sekarang. Fraksi Nasdem menyatakan tidak akan menerima kenaikan tunjangan itu dan akan segera menyurati kesetjenan DPR agar kenaikan tunjangan tak dicairkan ke anggotanya. F-Nasdem berharap agar fraksi lain menyampaikan penolakan dan mengambil sikap yang sama.

"Jangan di publik menolak, tetapi tidak kembalikan. Ini harus dikawal pengembaliannya," kata Wakil Ketua F-Nasdem, Irma Suryani.

5. Heboh Donald Trump
Selain ribut tentang persoalan dalam negeri, kehebohan di DPR juga menyangkut masalah internasional. Ini berhubungan dengan kunjungan kerja pimpinan DPR ke Amerika Serikat, yang berlanjut pada pertemuan sejumlah perwakilan DPR dengan bakal calon Presiden Amerika Serikat Donald Trump di New York, AS. Yang dipersoalkan, mereka juga ikut hadir dalam kampanye Trump. Di depan pendukungnya, Trump sempat bertanya kepada Setya Novanto apakah rakyat Indonesia menyukainya. Novanto tersenyum dan menjawab, "Ya."

Foto-foto keberadaan Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon dalam kampanye Trump itu segera menyebar di media sosial. Sebelum keduanya kembali ke Tanah Air, berbagai pihak termasuk sejumlah anggota DPR mempersoalkan kejadian itu. Sejumlah politisi PDI-P, yakni Budiman Sudjatmiko, Diah Pitaloka, Adian Napitupulu, dan Charles Honoris, serta anggota F-PKB, Maman Imanulhaq, melaporkan kehadiran Novanto dan Fadli Zon ke Mahkamah Kehormatan Dewan. MKD memutuskan untuk mengusut kasus ini tanpa aduan karena sudah menjadi perhatian publik.

Belakangan, terungkap bahwa pertemuan dengan Trump itu diinisiasi oleh CEO MNC Group yang juga Ketua Umum Partai Perindo Hary Tanoesoedibjo. MNC dan perusahaan Trump memiliki sejumlah kerja sama di Indonesia. Pertemuan dengan Trump itu juga tidak pernah ada dalam jadwal delegasi.

Sejauh ini, Novanto dan Fadli merasa tidak melanggar etika atau aturan apa pun atas kehadiran mereka di kampanye Trump. Mereka mengaku bertemu dengan Trump untuk menarik lebih banyak investasi ke Indonesia. Namun, mereka tidak bisa menghindar saat ditawari hadir ke acara kampanye Trump.

Hingga saat ini, proses di MKD masih terus berlanjut. MKD sudah berupaya memanggil Novanto dan Fadli pada 28 September lalu, namun keduanya masih menjalankan ibadah haji atas undangan kerajaan Arab. Pemanggilan kedua mereka dijadwalkan pada 12 Oktober mendatang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sejarah Hari Bhakti Pemasyarakatan 27 April

Sejarah Hari Bhakti Pemasyarakatan 27 April

Nasional
Tanggal 26 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 26 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Golkar Ungkap Faktor Keadilan Jadi Rumusan Prabowo Bentuk Komposisi Kabinet

Golkar Ungkap Faktor Keadilan Jadi Rumusan Prabowo Bentuk Komposisi Kabinet

Nasional
Soal Gugatan PDI-P ke PTUN, Pakar Angkat Contoh Kasus Mulan Jameela

Soal Gugatan PDI-P ke PTUN, Pakar Angkat Contoh Kasus Mulan Jameela

Nasional
Prabowo: Kami Akan Komunikasi dengan Semua Unsur untuk Bangun Koalisi Kuat

Prabowo: Kami Akan Komunikasi dengan Semua Unsur untuk Bangun Koalisi Kuat

Nasional
PDI-P Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda, KPU: Pasca-MK Tak Ada Pengadilan Lagi

PDI-P Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda, KPU: Pasca-MK Tak Ada Pengadilan Lagi

Nasional
Sedang di Yogyakarta, Ganjar Belum Terima Undangan Penetapan Prabowo-Gibran dari KPU

Sedang di Yogyakarta, Ganjar Belum Terima Undangan Penetapan Prabowo-Gibran dari KPU

Nasional
Pakar Nilai Gugatan PDI-P ke PTUN Sulit Dikabulkan, Ini Alasannya

Pakar Nilai Gugatan PDI-P ke PTUN Sulit Dikabulkan, Ini Alasannya

Nasional
Airlangga Klaim Pasar Respons Positif Putusan MK, Investor Dapat Kepastian

Airlangga Klaim Pasar Respons Positif Putusan MK, Investor Dapat Kepastian

Nasional
PDI-P Sebut Proses di PTUN Berjalan, Airlangga Ingatkan Putusan MK Final dan Mengikat

PDI-P Sebut Proses di PTUN Berjalan, Airlangga Ingatkan Putusan MK Final dan Mengikat

Nasional
Golkar Belum Mau Bahas Jatah Menteri, Airlangga: Tunggu Penetapan KPU

Golkar Belum Mau Bahas Jatah Menteri, Airlangga: Tunggu Penetapan KPU

Nasional
Prabowo: Kami Berhasil di MK, Sekarang Saatnya Kita Bersatu Kembali

Prabowo: Kami Berhasil di MK, Sekarang Saatnya Kita Bersatu Kembali

Nasional
Kepala BNPT: Waspada Perkembangan Ideologi di Bawah Permukaan

Kepala BNPT: Waspada Perkembangan Ideologi di Bawah Permukaan

Nasional
KPK Dalami 2 LHKPN yang Laporkan Kepemilikan Aset Kripto, Nilainya Miliaran Rupiah

KPK Dalami 2 LHKPN yang Laporkan Kepemilikan Aset Kripto, Nilainya Miliaran Rupiah

Nasional
Pertamina dan Polri Jalin Kerja Sama dalam Publikasi untuk Edukasi Masyarakat

Pertamina dan Polri Jalin Kerja Sama dalam Publikasi untuk Edukasi Masyarakat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com