Oleh: Yohan Wahyu
JAKARTA, KOMPAS - Hari ini, genap satu tahun Dewan Perwakilan Rakyat periode 2014-2019 bertugas. Adagium "tidak ada lawan atau kawan abadi dalam politik, yang abadi adalah kepentingan" sangat sesuai saat memahami koalisi politik yang terjadi di Parlemen sepanjang satu tahun terakhir. Kepentingan politik tiap-tiap pihak menjadi landasan utama bentuk dan durasi koalisi yang terjadi di Parlemen.
Lahirnya dua koalisi besar di DPR menjadi pintu pembuka panggung politik di negeri ini sesudah Pemilihan Presiden 2014. Dua kekuatan itu adalah Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang menjadi pendukung pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Koalisi Merah Putih (KMP) yang lebih memilih berada di luar pemerintahan. KMP bahkan telah mendeklarasikan dirinya sebagai koalisi permanen pada 14 Juli 2014, jauh sebelum pelantikan anggota DPR terpilih periode 2014-2019.
Tekad menjadi koalisi permanen itu terasa goyah ketika Partai Amanat Nasional (PAN) yang awalnya menjadi anggota KMP kemudian memilih bergabung dalam koalisi pendukung pemerintah. PAN berargumen, langkah ini diambil untuk membantu pemerintah menghadapi situasi sulit yang sedang melanda Indonesia, di antaranya terkait dengan pelambatan pertumbuhan ekonomi yang harus segera diatasi (Kompas, 3/9/2015).
Jika ditelusuri, apa yang dilakukan PAN sudah diprediksi publik. Hasil jajak pendapat Kompas pada Agustus 2014, atau sesaat setelah Mahkamah Konstitusi menolak gugatan pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam Pemilihan Presiden 2014, menunjukkan, sebanyak 61 persen responden meyakini peta politik baru akan terjadi. Langkah PAN menjadi bukti keyakinan publik tersebut.
Dinamika parlemen
Cairnya koalisi politik juga terekam pada era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Sekretariat Gabungan yang dibentuk sebagai wadah komunikasi partai politik pendukung pemerintah juga tak selalu melahirkan soliditas politik yang utuh. Dalam sejumlah isu, koalisi pendukung pemerintah ini tidak jarang berbeda sikap.
Dalam penentuan sikap terhadap kasus Bank Century pada Maret 2010, misalnya, hasil voting di Rapat Paripurna DPR merekam perbedaan sikap di antara anggota Sekretariat Gabungan. Partai Demokrat, sebagai pendukung utama pemerintah, memilih opsi A (kebijakan bail out dan aliran dana kepada Bank Century tidak bermasalah). Langkah ini diikuti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) meskipun suaranya tidak bulat. Sementara tiga partai lainnya, yakni Golkar, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), memilih opsi C (kebijakan bail out diduga ada penyimpangan dan diserahkan pada proses hukum).
Dinamika yang sama terjadi dalam Parlemen pada era pemerintahan Jokowi-Kalla. KIH dan KMP menjadi dua koalisi yang mewarnai dinamika politik di Parlemen. Menariknya, jika pada era Yudhoyono koalisi pendukungnya tidak selalu solid, koalisi pendukung pemerintahan Jokowi-Kalla malah pernah cenderung "berseberangan" dengan Presiden. Setidaknya hal ini terjadi saat Presiden memilih dan kemudian membatalkan melantik Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri). Langkah Presiden ini sempat dikritisi sejumlah petinggi PDI-P.