Oleh: Hery Gaos
JAKARTA, KOMPAS.com - Kartunis Gerardus Mayela (GM) Sudarta mengatakan, menjadi kartunis sering kali terjebak dalam kepahitan hidup. Dia selalu memprihatinkan ketidakadilan, penyimpangan, kejahatan, dan kekacauan, kemudian bersikap lewat karyanya untuk mengkritik atau memberi penyadaran. Dan, kepahitan GM Sudarta itu masih tercermin dalam pameran senirupa Mediart di lobi Kompas, mulai 28 September sampai 3 Oktober.
Kepahitan itu tidak hanya sebatas perasaan, tapi juga ancaman nyata. Bahkan, dia pernah didatangi dua panser karena karyanya, juga pernah terserang penyakit aneh.
Kepada penulis, GM Sudarta menjelaskan, kartun sudah menjadi bagian hidupnya dan dia tak bisa meninggalkannya, meski harus merasakan kepahitan. Dalam usia 70 tahun ini, ia tak juga surut menggeluti dunianya. Justru itu yang membuatnya merasa lebih hidup. Pencipta tokoh Om Pasikom di harian Kompas ini menegaskan, kartunis memang harus bisa merasakan dan menjiwai kepahitan hidup agar kemudian bisa membuat karya sebagai reaksinya.
"Saya sependapat dengan Jakob Oetama bahwa kartun tidak bisa melakukan revolusi. Tapi, kartun harus cerdas, tajam, dan bijak dalam memotret realitas hidup dan memberi penyadaran atau kritik yang baik. Setidaknya, kartun memberi tahu ada sebuah kesalahan atau penyelewengan. Kartun tidak bisa merevolusi, dia hanya mencegah kesalahan ini jangan terjadi lagi," jelasnya.
Meski begitu, ia merasa kartun memiliki pengaruh besar. Pesannya kadang lebih sampai ke sasaran dan mampu memberi penyadaran yang kuat, tanpa harus berbuih-buih.
Pernah pada 1967, GM Sudarta memotret realitas sosial yang memprihatinkan. Terjadi tren perampokan dan diduga dilakukan oleh oknum-oknum tentara. Ia pun mencoba membuat sebuah kartun dengan tokoh Om Pasikom yang dimuat di harian Kompas.
"Tak lama, kami diserbu dua panser dan diteror serta ditekan habis-habisan. Mereka protes kartun saya," tuturnya.
Tak hanya itu, GM Sudarta merasa terjebak dalam kepahitan hidup. Dia selalu berusaha meresapi dan menjiwai setiap realitas yang menyimpang. Sehingga, seolah-olah hidupnya juga berada dalam kepahitan yang ia potret.
"Pernah pada tahun 1980 saya sakit parah dan harus diopname. Badan saya panas. Dokter bingung dan menurutnya saya sebenarnya tak sakit, karena hasil diagnosis semua baik," kisahnya.
"Saya pikir, ini penyakit aneh. Secara medis saya baik, tapi kok saya merasa tak enak dan sampai panas. Setelah berkonsultasi dan saya resapi sendiri, ternyata karena saya terlalu jauh dalam merasakan kepahitan hidup. Seolah, saya berada setiap kepahitan demi kepahitan yang terjadi dalam realitas," tambahnya.
Meski begitu, itu salah satu yang membuatnya tajam menangkap potret sosial politik dan budaya, sekaligus lincah dalam berkarya dan kritik. "Ya, akhirnya saya sadari dan secara otomatis sakit itu hilang sendiri. Saya sekarang lebih tenang dalam meresapi kepahitan hidup," ucapnya.
Dalam pameran Mediart dengan tema "JO", ia kembali menghadirkan kepahitan hidup yang ia potret. GM Sudarta memamerkan 4 lukisannya, berjudul "Keterbukaan", "Condromowo", "Yang Hilang", dan "Ibu Pengungsi". Semua karya berbicara soal kemanusiaan, kepahitan hidup yang ia potret. Dia berharap, dengan caranya ia bisa berbuat sesuatu untuk mengurangi kepahitan, memberi penyadaran, juga mencegah agar tak terulang kepahitan yang sama.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.