Oleh: Heru Prasetyo
JAKARTA, KOMPAS - Deforestasi sudah SOS. Diperparah dengan ”penyakit menahun” kabut asap akibat pembakaran hutan dan lahan, kita seperti bukan bangsa pembelajar.
Problem yang menaik sejak awal Orde Baru itu selalu berulang dan kini makin memburuk. Kajian komprehensif Lembaga Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch pada 2001 menyimpulkan, tutupan hutan Indonesia yang pada 1950 masih 162 juta hektar telah menyusut drastis lebih dari separuhnya, yakni menjadi sekitar 98 juta hektar, pada akhir 1990-an.
Bersamanya, turut susut pula harta karun hayati Indonesia yang tiada tepermanai. Bayangkan, Indonesia, yang luas daratannya hanya 1,3 persen dari seluruh daratan dunia, diyakini memiliki 16 persen dari semua jenis burung, 10 persen dari semua jenis mamalia, dan 11 persen dari seluruh spesies tumbuhan di dunia. Posisinya yang menjembatani ekosistem Asia dan Australia—keunikan yang mencengangkan naturalis masyhur asal Britania Raya, Alfred Russel Wallace (1823-1913)—membuat keanekaragaman hayati dan nonhayati Indonesia tiada duanya.
Penistaan yang legal
Deforestasi menggerus kekayaan negeri ini dengan kecepatan jauh melampaui pertumbuhan kesejahteraan rakyatnya. Rerata pendapatan per kapita yang baru menyentuh 4.000 dollar AS per tahun jelas njomplang dengan modal sumber daya alam yang dikorbankan.
Seiring waktu, deforestasi mendahsyat. Sebagian legal karena memang sudah direncanakan. Sebagian lagi ilegal sebagai aksi reaktif individu atau kelompok. Yang ilegal hampir pasti ilegal, yang legal belum pasti legal.
Warga setempat, baik masyarakat adat maupun masyarakat tempatan, hampir seluruhnya pernah mengenyam pahit-getirnya penistaan. Penistaan terjadi justru tatkala pemerintah melegalkan perambahan hebat atas hutan yang kebanyakan hanya menguntungkan segelintir pelaku ekonomi. Wajah deforestasi makin babak belur.
Pemerintah, yang oleh UUD 1945 diamanati melakukan penjagaan terhadap kekayaan alam demi sebesar-besar kemakmuran rakyat, sayangnya secara umum bertindak inefektif, atau setidaknya inefisien. Di ranah kebijakan, kelembagaan, kapabilitas, implementasi, hingga relasi kontraktual dengan pelbagai pihak, banyak kebijakan sesaat yang jadi "ketelanjuran yang merugikan bangsa". Semua berkontribusi dalam mengonstruksi basis berpikir kita mengenai narasi perubahan untuk menyelamatkan masa depan bangsa.
Kita perlu menghentikan proses deforestasi, melindungi tegakan dan keanekaragaman hayati di dalamnya, serta memperbaiki kerusakan yang telanjur terjadi. Secara simultan, kita manfaatkan lahan korban ketelanjuran itu guna menunjang pembangunan yang harus lebih adil, bermartabat, dan sesuai amanat konstitusi. Proses, kebijakan, implementasi, dan kendaliannya harus mengindahkan hal-hal itu secara komprehensif dan serempak.