Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Ibu Susi, Salah Kami Apa...?"

Kompas.com - 18/09/2015, 17:34 WIB
Dani Prabowo

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com — Wajah Damir (37) terlihat murung. Sudah beberapa waktu terakhir, nelayan asal Cilincing, Jakarta Utara, itu tidak melaut. Bukan karena langkanya solar atau tingginya ombak, melainkan akibat peraturan yang dibuat oleh Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti.

"Kalaupun ada larangan pada kami, apa kesalahan kami? Kami orang awam, kalau ada kesalahan pada kami, tolong beri arahan yang jelas," kata Damir saat audiensi dengan Komisi IV, Jumat (18/9/2015).

Pada 8 Januari 2015 lalu, Menteri Susi menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (trawls) dan Pukat Tarik (seine nets). Menurut Damir, peraturan itu telah membuat dirinya dan nelayan lain yang menggunakan jaring cantrang tak dapat melaut.

"Kami nelayan, kami pekerja keras, dan menurut kami, pekerjaan kami itu halal. Kami bukan pencuri, kami ingin kebebasan," kata Damir.

Nelayan lain, Iway Suwardono (37), mengaku, dirinya kini juga mengalami ketakutan untuk melaut. Hampir setiap hari petugas dari Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) menggelar razia di lokasi dimana ia biasa melaut.

"Ombak tinggi bisa kita siasati, harga BBM mahal bisa kita siasati. Tapi, kalau larangan dari dalam Permen 2 itu yang kita takuti," ujar Iway.

Ia menuturkan, beberapa waktu lalu, dua orang rekannya ditangkap petugas karena tetap nekat melaut dengan menggunakan jaring cantrang. Bahkan, ia mengatakan, hingga kini keduanya masih ditahan di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang. "Kapal yang mereka gunakan sekarang jadi bangkai di Muara Baru," tuturnya.

Iway mengaku sudah sejak lama dirinya menggunakan jaring cantrang untuk mencari ikan. Ia menganggap, penggunaan jaring tersebut tidak merusak ekosistem laut. Namun, ia tak mengerti kenapa sekarang cantrang dilarang digunakan.

Untuk diketahui, Pasal 2 Permen tersebut menyatakan, "Setiap orang dilarang menggunakan alat penangkapan ikan pukat hela (trawls) dan alat penangkapan ikan pukat tarik (seine nets) di seluruh Wilayah Pengolahan Perikanan Negara Republik Indonesia."

Sementara itu, di dalam Pasal 4 dinyatakan, ada dua jenis seine nets, yakni pukat tarik pantai (beach seines) dan pukat tarik berkapal (boat or vessel seines). Sementara itu, jaring cantrang termasuk ke dalam salah satu jenis pukat tarik berkapal.

Penjelasan Susi

Susi Pudjiastuti pernah menjelaskan, penggunaan trawl oleh kapal-kapal besar selama ini memiliki efek yang dahsyat terhadap ekosistem bawah laut. Kerusakan parah akan jelas terlihat setelah alat tangkap itu digunakan.

"Karena lihat kerusakannya itu luar biasa. Makin efektif alat tangkap itu, makin kejam sama ekosistem," kata dia.

Bahkan, lanjut Susi, apabila trawl ditarik dengan menggunakan kapal 800 GT dengan luas 100 kilometer, dipastikan kerusakan ekosistem bawah laut akan lebih parah. Karena itu, Susi memilih mengundurkan diri dari jabatannya saat ini daripada membiarkan penggunaan alat penangkap ikan (API) pukat hela (trawl) dilegalkan. (Baca juga: Kalau "Trawl" Dilegalkan, Menteri Susi Memilih Mundur)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Saksi Ungkap SYL Minta Kementan Bayarkan Kartu Kreditnya Rp 215 Juta

Saksi Ungkap SYL Minta Kementan Bayarkan Kartu Kreditnya Rp 215 Juta

Nasional
Saksi Sebut Bulanan untuk Istri SYL dari Kementan Rp 25-30 Juta

Saksi Sebut Bulanan untuk Istri SYL dari Kementan Rp 25-30 Juta

Nasional
Tata Kelola Dana Pensiun Bukit Asam Terus Diperkuat

Tata Kelola Dana Pensiun Bukit Asam Terus Diperkuat

Nasional
Nurul Ghufron Laporkan Albertina Ho, Jelang Disidang Dewas KPK Karena Masalah Etik

Nurul Ghufron Laporkan Albertina Ho, Jelang Disidang Dewas KPK Karena Masalah Etik

Nasional
Kejagung Diminta Segera Tuntaskan Dugaan Korupsi Komoditi Emas 2010-2022

Kejagung Diminta Segera Tuntaskan Dugaan Korupsi Komoditi Emas 2010-2022

Nasional
PKB-Nasdem-PKS Isyaratkan Gabung Prabowo, Pengamat: Kini Parpol Selamatkan Diri Masing-masing

PKB-Nasdem-PKS Isyaratkan Gabung Prabowo, Pengamat: Kini Parpol Selamatkan Diri Masing-masing

Nasional
Saksi Sebut Dokumen Pemeriksaan Saat Penyelidikan di KPK Bocor ke SYL

Saksi Sebut Dokumen Pemeriksaan Saat Penyelidikan di KPK Bocor ke SYL

Nasional
Laporkan Albertina ke Dewas KPK, Nurul Ghufron Dinilai Sedang Menghambat Proses Hukum

Laporkan Albertina ke Dewas KPK, Nurul Ghufron Dinilai Sedang Menghambat Proses Hukum

Nasional
TKN Sebut Pemerintahan Prabowo Tetap Butuh Oposisi: Katanya PDI-P 'Happy' di Zaman SBY...

TKN Sebut Pemerintahan Prabowo Tetap Butuh Oposisi: Katanya PDI-P "Happy" di Zaman SBY...

Nasional
KPK Belum Terima Salinan Resmi Putusan Kasasi yang Menang Lawan Eltinus Omaleng

KPK Belum Terima Salinan Resmi Putusan Kasasi yang Menang Lawan Eltinus Omaleng

Nasional
'Groundbreaking' IKN Tahap Keenam: Al Azhar, Sekolah Bina Bangsa, dan Pusat Riset Standford

"Groundbreaking" IKN Tahap Keenam: Al Azhar, Sekolah Bina Bangsa, dan Pusat Riset Standford

Nasional
Karpet Merah Parpol Pengusung Anies untuk Prabowo...

Karpet Merah Parpol Pengusung Anies untuk Prabowo...

Nasional
Cinta Lama Gerindra-PKB yang Bersemi Kembali

Cinta Lama Gerindra-PKB yang Bersemi Kembali

Nasional
PKB Beri Sinyal Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin Dinilai Ingin Amankan Kursi Ketum

PKB Beri Sinyal Gabung Koalisi Prabowo, Cak Imin Dinilai Ingin Amankan Kursi Ketum

Nasional
Jokowi Teken Keppres, Tunjuk Bahlil Jadi Ketua Satgas Percepatan Swasembada Gula

Jokowi Teken Keppres, Tunjuk Bahlil Jadi Ketua Satgas Percepatan Swasembada Gula

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com