JAKARTA, KOMPAS.com - Pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang masih minim menjadi salah satu persoalan Indonesia. Pemerintah dinilai belum memberikan perhatian serius terhadap penelitian dan Iptek.
"Perkembangan Iptek di kita masih belum bisa disejajarkan dengan negara-negara lain. Sementara negara maju sudah membuktikan bahwa kemajuan mereka ditopang pengembangan Iptek," kata Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Iskandar Zulkarnain saat membuka seminar nasional ke-26 Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) di Jakarta, Rabu (27/8/2015).
Menurut Iskandar, ada tiga indikator yang menunjukan posisi Indonesia dalam pengembangan Iptek. Jika dilihat dari jumlah peneliti per satu juta penduduk, Indonesia masih jauh tertinggal dengan negara lainnya.
Iskandar lantas membandingkan jumlah peneliti Indonesia dengan India, Brasil, Rusia, Tiongkok, dan Korea. Saat ini, menurut dia, jumlah peneliti Indonesia hanya 90 peneliti per satu juta penduduk. (baca: Jokowi Janji Upayakan Kenaikan Anggaran untuk Penelitian)
Sementara itu, jumlah peneliti Brasil mencapai 700 orang per 1 juta penduduk. Rusia 3000 peneliti per 1 juta penduduk, India 160 peneliti per 1 juta penduduk, Korea 5.900 peneliti per 1 juta penduduk, dan Tiongkok 1020 peneliti per 1 juta penduduk.
"Kalau penduduk China 2 miliar orang, mereka memiliki 2 juta peneliti," sambung Iskandar.
Indikator lainnya adalah total belanja nasional untuk penelitian dan pengembangan terhadap rasio produk domestik bruto (PDB). Saat ini, total belanja nasional untuk kegiatan penelitian dan pengembangan Iptek baru 0,09 persen. Angka ini masih jauh jika dibandingkan dengan negara lainnya seperti Malaysia, Tiongkok, Amerika Serikat, dan Israel.
"Malaysia mendekati 2 persen, China di atas 2 persen, Amerika Serikat mendekati 3 persen, Israel itu 4 persen dari PDB-nya. Kita, 0,1 persen saja belum sampai," papar Iskandar.
Hal lain yang menjadi indikator rendahnya pengembangan Iptek di Indonesia adalah jumlah institusi riset. Menurut Iskandar, jumlah institusi riset di Indonesia masih bisa dihitung dengan jari. Sementara itu, institusi riset di Amerika Serikat sudah mencapai 394, di Jerman lebih dari 180, dan di Jepang jumlahnya di atas 70.
"Dan di Indonesia, meskipun jumlahnya sedikit, sudah didebatkan tumpang tindihnya. Padahal tidak ada masalah bangsa yang hanya bisa diselesaikan satu institusi riset. Harusnya diselesaikan bersama-sama melalui kolaborasi," tutur dia.
Oleh karena itu, Iskandar berharap ada perubahan cara pandang dan kebijakan pemerintah yang bisa menjadi terobosan dalam pengembangan Iptek. Ia berharap sumber daya manusia unggul di universitas bisa dikerahkan lebih banyak untuk riset dan pengembangan Iptek.
Iskandar juga mengingatkan bahwa tantangan bangsa ke depan adalah bagaimana membangun kemampuan dan pengembangan Iptek yang bisa mendorong terwujudnya negara demokrasi berkeadilan sosial.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.