JAKARTA, KOMPAS.com - Tindakan penyiksaan yang terjadi selama proses hukum di kepolisian masih terjadi. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang profesionalitas aparat Korps Bhayangkara tersebut.
Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras) mencatat, dalam aduan yang mereka terima pada Mei hingga Agustus 2015, tujuh orang meninggal dunia saat penanganan kasus hukum di kepolisian. Ironisnya, dua orang di antaranya tergolong anak-anak, usianya di bawah 17 tahun. Sementara itu, 16 orang lainnya mengalami luka-luka karena mengalami hal serupa. (Baca Kontras Catat Tujuh Orang Tewas Ketika Jalani Proses Hukum di Polisi)
Angka korban tewas maupun luka-luka itu tercatat dalam empat kasus di lokasi berbeda. Di Samarinda, Kalimantan Timur, seorang anak berusia 16 tahun berinisial RS meninggal dunia seusai menjalani pemeriksaan di Polres Samarinda. Peristiwa itu dilaporkan ke Kontras pada 8 Mei 2015.
"RS awalnya ditangkap karena dituduh kasus pencurian sepeda motor. RS dipaksa mengaku dengan cara disiksa hingga mengalami muntah-muntah dan meninggal dunia," ujar Kepala Divisi Pembelaan Hak Sipil Politik Kontras Putri Kanesia di Sekretariat Kontras, Jakarta, Senin (24/8/2015).
Cerita serupa terjadi di Lampung Timur. Anggota Polsek Serpong menangkap 19 warga Lampung Timur atas tuduhan sindikat pencurian sepeda motor. Lima warga tewas dalam proses pemeriksaan dan diduga dianiaya selama pemeriksaan oleh polisi. Hal itu antara lain dibuktikan dengan adanya luka tembak pada sebagian besar korban. Salah satu di antaranya juga mengalami patah tulang leher.
"Yang menjadi ironi lagi, 14 warga sisanya itu dilepaskan karena tidak terbukti terlibat di dalam sindikat pencurian sepeda motor karena tak ditemukan bukti kuat," ujar Putri.
Kasus pencurian sepeda motor juga menelan korban di Widang, Tuban, Jawa Timur. Kontras menerima aduan bahwa seorang anak berinisial VA disiksa oleh oknum Polsek Widang agar mengakui sebagai pelaku pencurian sepeda motor milik tetangganya. Karena tak ada bukti kuat, polisi akhirnya melepaskan remaja 12 tahun tersebut.
Lain cerita di Bangka. Awalnya, anggota Polres Bangka menangkap seseorang pengguna narkoba. Dia menyebut nama Sh sebagai sumber barang haram itu. Polisi bergerak menangkap Sh dan menyiksanya demi mendapatkan barang bukti narkotika.
"Namun, di tengah penyiksaan, Sh tewas. Yang jadi catatan kami, Sh ditangkap di rumah anggota polisi. Nah, apa kasus itu dilanjutkan? Apa polisi itu diperiksa juga? Kita tidak tahu," ujar Putri.
Minim kemampuan
Wakil Koordinator Bidang Advokasi Kontras Yati Andriyani menyayangkan rentetan peristiwa ini. Ia menegaskan bahwa polisi seharusnya mengayomi masyarakat, melakukan pendekatan humanism dan bertindak profesional. Namun, korban jiwa dalam proses hukum di kepolisian justru menunjukkan hal sebaliknya.
Yati menilai bahwa penyebab terjadinya rentetan aksi penyiksaan ini adalah karena minimnya pengetahuan polisi soal teknik penyelidikan dan penyidikan, khususnya di daerah. Hal itu menyebabkan Polisi hanya mengejar pengakuan untuk melihat ada atau tidaknya tindak pidana.
"Ini menunjukkan skill polisi menangani tindak pidana itu minim. Mereka ambil jalan pintas, tangkap, siksa, demi keterangan yang bisa jadi tak sesuai fakta. Dan, parahnya lagi, tidak ada perubahan dari tahun ke tahun," kata dia.
Lebihd dari itu, Yati juga menyesalkan ketiadaan sanksi, baik pidana atau etika, terhadap oknum polisi yang diduga menjadi pelaku penyiksaan dalam empat perkara di atas. Padahal, Pasal 422 KUHP sudah mengatur hukuman pidana bagi polisi yang terlibat aksi penyiksaan dalam sebuah proses hukum.
"Scientific crime identification"
Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Muhammad Nasser menyebutkan, menyiksa seseorang supaya mendapatkan pengakuan terkait ada atau tidaknya tindak pidana adalah model pemeriksaan kuno di kepolisian. Ia menyayangkan mengapa ada oknum polisi Indonesia yang masih melakukan demikian.
"Harusnya perolehan pengakuan tidak boleh dilakukan dengan kekerasan, tapi dikejar melalui cara lain, salah satunya ya scientific crime identification. Sudah kuno kalau polisi masih menyiksa," ujar Nasser, Selasa (25/8).
Nasser menyebutkan, semakin banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia oleh polisi, semakin menunjukkan ketidakprofesionalan Polri.
Polri dongkol
Kepala Divisi Humas Polri Irjen (Pol) Anton Charliyan pun menyayangkan tindakan oknum polisi yang membuat takut masyarakat, salah satunya menyiksa saksi demi mengejar pengakuan atau keterangan soal ada atau tidaknya tindak pidana.
"Padahal sekarang ini polisi harusnya sudah tidak lagi berdasarkan pengakuan, tetapi alat bukti. Orang mau bicara, mengaku atau tidak, yang penting alat buktinya ada," ujar Anton di kompleks Mabes Polri, Senin sore. (Baca Polri Dongkol Masih Ada Polisi yang Menyiksa dalam Pemeriksaan)
Untuk menindaklanjuti kejadian itu, Anton meminta Kontras menyerahkan data jumlah penyiksaan yang diduga dilakukan oleh polisi. Ia berjanji bahwa Polri akan menyelidiki ketidakberesan oknum polisi itu, termasuk memberikan sanksi terhadap mereka. Langkah nyata Polri ini patut ditunggu agar ke depan tidak ada lagi cara-cara tidak profesional dalam penangangan hukum.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.