JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Divisi Humas Polri Irjen Anton Charliyan menyayangkan masih adanya penyidik dari kepolisian yang menyiksa saksi demi mengejar pengakuan atau keterangan soal ada atau tidaknya tindak pidana.
"Padahal sekarang ini polisi harusnya sudah tidak lagi berdasarkan pengakuan, tetapi alat bukti. Orang mau bicara, mengaku atau tidak, yang penting alat buktinya ada," ujar Anton di Mabes Polri, Senin (24/8/2015) sore.
Anton mengatakan, pimpinan Polri sudah sering berkomunikasi dengan kepala satuan wilayah (Kasatwil) se-Indonesia. Pimpinan, sebut Anton, sudah berpesan agar penindakan hukum harus memiliki standar hukum yang ada, yakni KUHAP dan Peraturan Kapolri.
"Arahan langsung dengan kepala polres-nya dikumpulkan sudah, telekonferensi sudah juga, segala macam kita lakukan sudah. Kami dongkol juga kok masih ada saja. Kami ini mesti gimana ke bawah coba?" lanjut dia.
Anton mengaku akan menindaklanjuti oknum polisi yang terbukti menyiksa. Yang penting, ia mengatakan, bahwa tindaklanjut tersebut mesti melalui mekanisme pelaporan.
Sebelumnya, Kontras merilis terdapat 7 orang meninggal dunia dan 16 orang lainnya mengalami luka-luka diduga akibat proses hukum di kepolisian. Jumlah itu terjadi dalam kurun waktu Mei hingga Agustus 2015 atau hanya empat bulan saja.
Pertama, 8 Mei 2015, yakni RS (16). Korban ditangkap Jatanras Polres Samarinda bersama rekannya terkait tuduhan pencurian sepeda motor. RS lalu dipaksa mengaku tindak pidana pencurian dengan cara disiksa. Sebelum meninggal dunia, korban mengalami muntah-muntah.
Kedua, 8 Juni 2015, Kontras menerima aduan dugaan penyiksaan anggota Polsek Serpong terhadap 19 warga Lampung Timur di mana 5 orang di antaranya meninggal dunia. Belasan orang itu semula ditangkap terkait keterlibatan sindikat pencurian sepeda motor.
Namun, karena tak ditemukan adanya bukti cukup kuat, 14 orang dibebaskan dan lima lainnya dilaporkan meninggal dunia dengan luka tembak. Bahkan salah satu di anntaranya meninggal dengan kondisi patah tulang leher.
Ketiga, tanggal 22 Juni 2015, Kontras menerima aduan dugaan penyiksaan oleh anggota Polsek Widang, Tuban, terhadap anak di bawah umur berinisial VA (12). Kasus ini diawali dengan laporan tetangga VA yang sepeda motornya dicuri yang diduga dilakukan oleh VA. Polisi pun menangkap VA, kemudian ia disiksa agar mengakui perbuatan. Namun, akhirnya VA dilepas karena tuduhan tak terbukti.
Dan yang keempat, tanggal 7 Agustuss 2015, Kontras menerima pengaduan kasus kematian Suharli yang diduga dilakukan oleh anggota Polres Bangka. Peristiwa ini diawali dengan penangkapan seorang pengguna narkoba. Si pengguna menyebut nama Suharli sebagai asal muasal barang haram.
Polisi pun menangkap Suharli saat berada di kediaman salah satu anggota polisi. Korban kemudian diinterogasi agar menunjukan barang bukti dengan cara disiksa. Suharli pun meninggal diduga karena penyiksaan itu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.