Sebab lain, mencairnya koalisi sehingga parpol tidak harus terbelah dalam KIH dan KMP seperti di Pilpres 2014 juga dimungkinkan karena persaingan peta politik nasional tidak serta-merta mudah direplikasikan ke dalam peta persaingan lokal. Peta persaingan pilkada banyak ditentukan oleh kebutuhan atas siapa yang layak memimpin di daerahnya. Tidak hanya itu, sejauh ini blok koalisi di pilpres tersebut belum terlihat memiliki pakta kesepakatan politik yang mengikat antar-anggotanya untuk diterapkan di pilkada. Alhasil, jejak koalisi persaingan di pilpres masih tampak terbatas dalam menyikapi isu-isu politik di tingkat pusat.
Memicu kekhawatiran
Sebagai demokrasi formal di tingkat lokal yang dimaksudkan mewujudkan nilai-nilai demokrasi di daerah, pilkada juga bisa dibaca sebagai arena persaingan memperebutkan kekuasaan di daerah. Siapa yang dapat memenangi pilkada besar kemungkinan akan memperoleh kekuasaan eksekutif di daerah.
Oleh karena itu, berkoalisi selain merupakan salah satu pilihan politik juga bisa dimaksudkan sebagai siasat. Berkoalisi dan memiliki modal politik yang besar bisa jadi dirasa akan lebih ringan dibandingkan jika harus bertanding sendirian. Namun, koalisi parpol di pilkada ini juga bisa memunculkan sejumlah kekhawatiran.
Pertama, koalisi dibangun tidak berdasarkan panduan yang jelas. Ideologi, visi, platform di dalam pengusungan kandidat tak menonjol dibandingkan dengan sekadar mengusung calon yang elektabilitasnya tinggi. Karena koalisi tidak memiliki ikatan jelas dan kuat melainkan pragmatis, maka koalisi seperti ini kemungkinan tidak akan memiliki jangka umur yang panjang. Para anggota parpol yang berkoalisi bisa bergerak leluasa, apakah dalam perjalanannya nanti bisa tetap setia atau keluar dari barisan karena mekanisme pengikat sementara baru terbatas pada kepentingan politik temporal.
Kedua, orientasi parpol cenderung mengejar kekuasaan dan berwajah sebagai the office-seeking party, di mana orientasi yang disasar hanya perolehan jabatan-jabatan publik. Hal itu mereka tempuh, salah satunya, dengan cara berkoalisi atau dengan strategi lain daripada the vote-seeking party atau the policy-seeking party. Pada dua jenis partai yang terakhir, orientasi yang ditonjolkan adalah merebut suara pemilih dengan penyesuaian isu maupun kebijakannya agar dapat mewujudkan tujuannya, serta jenis partai yang berkomitmen lebih pada isu dan kebijakan (Wolinetz, 2002; Strom, 1990).