JAKARTA, KOMPAS.com — Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat menolak mengomentari rencana dihidupkannya kembali pasal larangan penghinaan terhadap presiden dalam Rancangan Undang-Undang KUHP. Menurut Arief, putusan MK sudah final dan mengikat ketika membatalkan pasal tersebut pada 2006 silam.
"Itu sudah putusan MK. Makanya, saya tidak boleh komentar. Putusan MK itu bersifat final dan mengikat. Itu saja," kata Arief di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (10/8/2015).
Meski demikian, Arief mengungkapkan pernah ada undang-undang yang dibatalkan MK, tetapi kemudian diajukan kembali dengan filosofi yang berbeda. Kasus yang ia contohkan adalah uji materi terhadap UU MPR, DPR, dan DPD (UU MD3) terkait kewenangan DPD dalam pembuatan undang-undang.
"Bisa ada yang begitu. Contohnya UU MD3, padahal kita sudah pernah memutus. Tapi, apakah itu menjadi pengujian UU lagi? Enggak tahu saya," ucapnya.
Pasal larangan penghinaan terhadap presiden masuk dalam RUU KUHP dan prolegnas DPR 2015. Rancangan UU tersebut akan dibahas pada masa sidang tahun ini dan diharapkan selesai pada pertengahan 2016.
Dalam Pasal 263 RUU KUHP ayat 1 yang disiapkan pemerintah, disebutkan bahwa "Setiap orang yang di muka umum menghina presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori IV".
Dalam ayat selanjutnya ditambahkan, "Tidak merupakan penghinaan jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jelas dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri". Menurut Jokowi, pasal itu ada untuk melindungi presiden sebagai simbol negara.
"Kalau kita lihat di negera yang lain, sebagai symbol of state itu ada semuanya. Tapi, kalau di sini inginnya tidak, ya terserah nanti di wakil-wakil rakyat," ucap dia.
Berbeda dengan Jokowi, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshidiqqie menilai bahwa alasan pemerintah yang menganggap posisi presiden sebagai simbol negara dianggap sebagai warisan pemikiran feodal. Pemikiran itu dianggap tak lagi relevan dengan era demokrasi. (Baca: Jimly: Presiden sebagai Simbol Negara adalah Pemikiran Feodal)
Menurut Jimly, persoalan lambang negara sudah diatur secara khusus dalam Pasal 36 a Undang-Undang Dasar 1945. Lambang negara yang diatur dalam konstitusi adalah Garuda Pancasila dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika, dan bukan presiden.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.