Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemilu Serentak yang Tidak Serentak

Kompas.com - 01/08/2015, 16:41 WIB


Oleh: James Luhulima

Pemilihan kepala daerah serentak di 269 daerah yang dijadwalkan diselenggarakan pada 9 Desember 2015 tampaknya tak akan terlaksana secara mulus. Hal itu karena hingga batas akhir pendaftaran calon peserta pilkada, 28 Juli 2015 pukul 16.00, beberapa Komisi Pemilihan Umum daerah hanya mendaftarsatu pasangan calon peserta pilkada.

Padahal, Pasal 89 Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015 menetapkan, jika tidak ada calon lain, pilkada di daerah dengan calon tunggal akan ditunda hingga pilkada serentak berikutnya (tahun 2017). Juga, menurut Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015, jika di suatu calon daerah hanya ada calon tunggal, masa pendaftarannya akan diperpanjang tiga hari. KPU memberikan jeda waktu tiga hari untuk sosialisasi sebelum pendaftaran waktu tiga hari tambahan, 1-3 Agustus 2015.

Menurut catatan Kompas, 30 Juli 2015, ada 14 daerah yang hanya memiliki satu pasangan bakal calon, yakni Kabupaten Minahasa Selatan (Sulawesi Utara); Kota Surabaya, Kabupaten Pacitan, dan Kabupaten Blitar (Jawa Timur); Kabupaten Purbalingga (Jawa Tengah); Kabupaten Serang (Banten); Kabupaten Asahan (Sumatera Utara); Kota Tasikmalaya (Jawa Barat); Kabupaten Timor Tengah Utara (Nusa Tenggara Timur); Kota Samarinda (Kalimantan Timur); Kota Mataram (Nusa Tenggara Barat); Kota Tidore Kepulauan (Maluku); serta Kabupaten Sorong dan Kabupaten Pegunungan Arfak (Papua Barat).

Sementara di Kabupaten Bolaang Mongondow Timur (Sulawesi Utara) belum ada calon yang mendaftar.

Pertanyaannya, bagaimana jika hingga batas waktu tambahan itu benar-benar tidak ada tambahan calon pasangan yang mendaftar? Itu satu soal! Soal lainnya adalah banyak yang khawatir akan muncul pasangan calon semu (asal ada saja) untuk memungkinkan pilkada serentak berlangsung serentak.

Kekhawatiran itu muncul karena ada tambahan waktu ekstra yang diberikan KPU. Sesuai Peraturan KPU Nomor 12 Tahun 2015, tambahan waktu itu tiga hari. Namun, dengan adanya waktu tiga hari untuk sosialisasi, tambahan waktunya jadi enam hari. Dalam waktu enam hari, banyak hal yang dapat terjadi, termasuk kemungkinan memunculkan pasangan calon semu.

Jika di suatu daerah hanya ada satu pasangan calon, sambil menunggu pilkada serentak berikutnya, di daerah itu pelaksana tugas kepala daerah ditunjuk oleh otoritas di atasnya.

Tidak adil

Situasi seperti itu tentunya tidak adil bagi pasangan calon petahana (incumbent) yang kuat mengingat kehadiran mereka sebagai calon tunggal sama sekali bukan salah mereka. Repotnya, di daerah-daerah tempat pasangan calon petahananya kuat, partai-partai oposisi enggan mengajukan pasangan calon sebagai lawan.

Salah satu contoh adalah di Kota Surabaya, yakni pasangan Tri Rismaharini-Wisnu Sakti Buana yang diusul PDI Perjuangan. Posisi pasangan calon petahana ini sangat kuat, kemungkinan pasangan ini untuk menang dalam pilkada di Surabaya sangat besar. Akan tetapi, karena partai koalisi lawannya, Koalisi Majapahit, tidak mengajukan pasangan calon, Tri Rismaharini-Wisnu Sakti Buana otomatis menjadi calon tunggal dan kehilangan kesempatan untuk terus melanjutkan masa baktinya.

Dengan menjadi calon tunggal, pasangan Tri Rismaharini-Wisnu Sakti Buana harus menunggu hingga pilkada serentak berikutnya tahun 2017. Sementara mereka menunggu, Surabaya akan dipimpin oleh pelaksana tugas kepala daerah yang wewenangnya tidak sama dengan kepala daerah. Itu berarti juga tidak adil bagi masyarakat Surabaya.

Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menawarkan tiga opsi (pilihan). Pertama, meminta kepada daerah, yang memiliki calon tunggal, menggunakan waktu tambahan untuk memunculkan pasangan calon pendamping. Kedua, merujuk pemilihan kepala desa, di mana calon kepala desa melawan bumbung kosong.

Untuk bisa berkuasa, calon harus mengalahkan bumbung kosong itu. Ketiga, menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Namun, opsi ketiga ini, oleh Mendagri, dinilai tidak relevan karena tidak ada unsur kegentingannya. Dari 269 daerah, hanya ada 14 daerah yang memiliki calon tunggal, dan satu daerah tidak memiliki calon sama sekali.

”Memaksakan” munculnya pasangan calon lain di luar calon tunggal dalam masa tambahan waktu dirasakan kurang pas, apalagi jika ada kegiatan transaksional di baliknya. Cara penyelesaian seperti itu secara prosedur benar, tetapi tidak benar jika dikaitkan dengan prinsip dan hakikat demokrasi.

Penyelesaian yang paling masuk akal bagi daerah yang memiliki calon tunggal adalah memilih opsi kedua, yang merujuk pada pilkades yang diikuti calon tunggal. Namun, untuk menggunakan opsi kedua itu, masih perlu dicarikan dasar hukumnya.

Keadaan seperti itu menunjukkan ada ketidaksempurnaan dalam penyusunan undang-undang karena tidak memperhitungkan seluruh kemungkinan persoalan yang dapat muncul dari penyelenggaraan pilkada serentak.

Jika saja di dalam UU itu ada keharusan bagi setiap partai politik yang mengajukan pasangan calon, kemungkinan munculnya pasangan calon tunggal dapat dihindari. Demikian pula dengan daerah yang sama sekali tidak memiliki pasangan calon.

Namun, pada saat ini, melihat ke belakang tidak banyak gunanya. Karena, di depan kita ada 14 daerah yang memiliki pasangan calon tunggal, dan satu daerah yang sama sekali tidak mempunyai pasangan calon. Pemerintah perlu mencarikan jalan keluarnya tanpa ada yang merasa dirugikan atau merasa diperlakukan tidak adil agar jangan sampai terjadi pilkada serentak yang tidak serentak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Yusril Harap Formasi Kabinet Prabowo-Gibran Tak Hanya Pertimbangkan Kekuatan di DPR

Yusril Harap Formasi Kabinet Prabowo-Gibran Tak Hanya Pertimbangkan Kekuatan di DPR

Nasional
Eks Ajudan Ungkap Anggaran Kementan untuk Bayar Dokter Kecantikan Anak SYL

Eks Ajudan Ungkap Anggaran Kementan untuk Bayar Dokter Kecantikan Anak SYL

Nasional
Yusril Bilang KIM Belum Pernah Gelar Pertemuan Formal Bahas Kabinet Prabowo

Yusril Bilang KIM Belum Pernah Gelar Pertemuan Formal Bahas Kabinet Prabowo

Nasional
Yusril Nilai Tak Semua Partai Harus Ditarik ke Kabinet Prabowo Kelak

Yusril Nilai Tak Semua Partai Harus Ditarik ke Kabinet Prabowo Kelak

Nasional
Cara Urus Surat Pindah Domisili

Cara Urus Surat Pindah Domisili

Nasional
Tanggal 20 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 20 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
TKN Klaim 10.000 Pendukung Prabowo-Gibran Akan Ajukan Diri Jadi 'Amicus Curiae' di MK

TKN Klaim 10.000 Pendukung Prabowo-Gibran Akan Ajukan Diri Jadi "Amicus Curiae" di MK

Nasional
Tepis Tudingan Terima Bansos, 100.000 Pendukung Prabowo-Gibran Gelar Aksi di Depan MK Jumat

Tepis Tudingan Terima Bansos, 100.000 Pendukung Prabowo-Gibran Gelar Aksi di Depan MK Jumat

Nasional
Jaksa KPK Sentil Stafsus SYL Karena Ikut Urusi Ultah Nasdem

Jaksa KPK Sentil Stafsus SYL Karena Ikut Urusi Ultah Nasdem

Nasional
PAN Minta 'Amicus Curiae' Megawati Dihormati: Semua Paslon Ingin Putusan yang Adil

PAN Minta "Amicus Curiae" Megawati Dihormati: Semua Paslon Ingin Putusan yang Adil

Nasional
KPK Ultimatum.Pengusaha Sirajudin Machmud Hadiri Sidang Kasus Gereja Kingmi Mile 32

KPK Ultimatum.Pengusaha Sirajudin Machmud Hadiri Sidang Kasus Gereja Kingmi Mile 32

Nasional
KSAU Pimpin Sertijab 8 Pejabat Utama TNI AU, Kolonel Ardi Syahri Jadi Kadispenau

KSAU Pimpin Sertijab 8 Pejabat Utama TNI AU, Kolonel Ardi Syahri Jadi Kadispenau

Nasional
Pendukung Prabowo-Gibran Akan Gelar Aksi di MK Kamis dan Jumat Besok

Pendukung Prabowo-Gibran Akan Gelar Aksi di MK Kamis dan Jumat Besok

Nasional
Menteri PAN-RB Enggan Komentari Istrinya yang Diduga Diintimidasi Polisi

Menteri PAN-RB Enggan Komentari Istrinya yang Diduga Diintimidasi Polisi

Nasional
Pengemudi Fortuner yang Mengaku Adik Jenderal Juga Dilaporkan Korban ke Puspom TNI

Pengemudi Fortuner yang Mengaku Adik Jenderal Juga Dilaporkan Korban ke Puspom TNI

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com