Salah satu contoh adalah di Kota Surabaya, yakni pasangan Tri Rismaharini-Wisnu Sakti Buana yang diusul PDI Perjuangan. Posisi pasangan calon petahana ini sangat kuat, kemungkinan pasangan ini untuk menang dalam pilkada di Surabaya sangat besar. Akan tetapi, karena partai koalisi lawannya, Koalisi Majapahit, tidak mengajukan pasangan calon, Tri Rismaharini-Wisnu Sakti Buana otomatis menjadi calon tunggal dan kehilangan kesempatan untuk terus melanjutkan masa baktinya.
Dengan menjadi calon tunggal, pasangan Tri Rismaharini-Wisnu Sakti Buana harus menunggu hingga pilkada serentak berikutnya tahun 2017. Sementara mereka menunggu, Surabaya akan dipimpin oleh pelaksana tugas kepala daerah yang wewenangnya tidak sama dengan kepala daerah. Itu berarti juga tidak adil bagi masyarakat Surabaya.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menawarkan tiga opsi (pilihan). Pertama, meminta kepada daerah, yang memiliki calon tunggal, menggunakan waktu tambahan untuk memunculkan pasangan calon pendamping. Kedua, merujuk pemilihan kepala desa, di mana calon kepala desa melawan bumbung kosong.
Untuk bisa berkuasa, calon harus mengalahkan bumbung kosong itu. Ketiga, menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu). Namun, opsi ketiga ini, oleh Mendagri, dinilai tidak relevan karena tidak ada unsur kegentingannya. Dari 269 daerah, hanya ada 14 daerah yang memiliki calon tunggal, dan satu daerah tidak memiliki calon sama sekali.
”Memaksakan” munculnya pasangan calon lain di luar calon tunggal dalam masa tambahan waktu dirasakan kurang pas, apalagi jika ada kegiatan transaksional di baliknya. Cara penyelesaian seperti itu secara prosedur benar, tetapi tidak benar jika dikaitkan dengan prinsip dan hakikat demokrasi.
Penyelesaian yang paling masuk akal bagi daerah yang memiliki calon tunggal adalah memilih opsi kedua, yang merujuk pada pilkades yang diikuti calon tunggal. Namun, untuk menggunakan opsi kedua itu, masih perlu dicarikan dasar hukumnya.
Keadaan seperti itu menunjukkan ada ketidaksempurnaan dalam penyusunan undang-undang karena tidak memperhitungkan seluruh kemungkinan persoalan yang dapat muncul dari penyelenggaraan pilkada serentak.
Jika saja di dalam UU itu ada keharusan bagi setiap partai politik yang mengajukan pasangan calon, kemungkinan munculnya pasangan calon tunggal dapat dihindari. Demikian pula dengan daerah yang sama sekali tidak memiliki pasangan calon.
Namun, pada saat ini, melihat ke belakang tidak banyak gunanya. Karena, di depan kita ada 14 daerah yang memiliki pasangan calon tunggal, dan satu daerah yang sama sekali tidak mempunyai pasangan calon. Pemerintah perlu mencarikan jalan keluarnya tanpa ada yang merasa dirugikan atau merasa diperlakukan tidak adil agar jangan sampai terjadi pilkada serentak yang tidak serentak.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.