Dalam terminologi pemikiran Islam, peraturan perundangan merupakan produk hukum yang harus mengandung nilai-nilai kemaslahatan publik (al-maslahah al-ammah). Al-Syatibi (w. 790 H/1355 M), seorang juris Muslim kelahiran Spanyol, secara cerdas mengartikulasikan lima hal mendasar (al-dlaruriyat al-khams) sebagai pilar bagi sebuah peraturan perundangan; 1) menjaga akal; 2) menjaga jiwa; 3) menjaga keturunan; 4) menjaga harta; dan 5) menjaga agama. Pendek kata, penyerapan doktrin agama ke ruang publik bukanlah hal jelek sepanjang dijustifikasi oleh rasionalitas publik yang mewadahi.
Integrasi lunak
Dalam konteks relasi agama-negara, memasukkan doktrin agama ke dalam struktur ketatanegaraan yang dilakukan secara harfiah, tidak proporsional dan tidak kontekstual dapat diklasifikasikan sebagai "integrasi keras" (hard integration). Dalam tradisi politik Islam, integrasi keras ini terefleksi dalam doktrin Islam sebagai agama (din) dan kekuasaan (dawlah) sekaligus. Abu-l A'la al-Mawdudi (1903- 1979), seorang pemikir Muslim Pakistan, merupakan salah seorang penganjur doktrin "integrasi keras" ini.
Dalam kondisi ekstrem, pola "integrasi keras" dapat mengarah pada penciptaan negara teokrasi, yakni sebuah negara yang didasarkan pada satu agama (tertentu). Kondisi semacam ini jelas tidak relevan dengan kebutuhan bangsa kita yang majemuk, selain kontraproduktif dengan bangunan konstitusi negara kita. Justru di dalam model semacam ini terdapat kecenderungan peragian sosial atas doktrin agama yang mengarah pada "sindrom pembusukan". Dalam rezim teokrasi, demokrasi diharamkan karena dianggap pemberontakan terhadap kedaulatan Tuhan.
Kebalikannya, "integrasi lunak" (soft integration) adalah memasukkan doktrin agama ke dalam struktur negara yang dilakukan secara substantif, proporsional, dan kontekstual. Dalam konstruk negara semacam ini, doktrin agama bisa dimasukkan ke dalam struktur ketatanegaraan sepanjang ia menopang terciptanya "sindrom pertumbuhan", bukan "sindrom pembusukan". Doktrin-doktrin agama yang dimasukkan harus memiliki rasionalitas publik yang dapat diukur dan diobyektivikasi oleh nilai-nilai keba(j)ikan publik yang bersifat non-partisan.