JAKARTA, KOMPAS - Lima belas tahun sebelum Indonesia merdeka, Bung Hatta sudah menulis, "Pemerintah harus banyak campur tangan dalam pelaksanaan ekonomi terpimpin dengan mengadakan petunjuk, tetapi harus bebas dari perbuatan birokrasi".
Bagi Bung Hatta, tidak ada yang lebih berbahaya dari kehadiran birokrasi yang rumit dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi. Pelaksanaan ekonomi berpedoman pada prinsip murah, lancar, dan cepat, sangat bergantung pada birokrasi.
Persoalannya, puluhan tahun merdeka ternyata birokrasi bukan menjadi lebih sederhana. Atas nama perbaikan pelayanan dan demi percepatan pembangunan, birokrasi justru kian rumit. Kini, para wakil rakyat di Senayan, Jakarta, bahkan ingin berlagak seperti birokrat dengan mengusulkan program pembangunan daerah pemilihan.
Tidak seorang pun bisa menyangkal sumpah anggota DPR yang berbunyi, "... Bahwa saya akan memperjuangkan aspirasi rakyat yang saya wakili...."
Namun, di manakah letak perjuangan itu ketika usulan program pembangunan di daerah pemilihan (UP2DP) membuat anggota Dewan seolah punya hak veto menentukan item pembangunan?
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) jelas telah mengatur hak anggota DPR untuk mengajukan UP2DP. Akan tetapi, tidak semua fraksi menyetujui kehadiran UP2DP.
Ketidakadilan baru
Dalam Rapat Paripurna DPR, 1 Juli 2015, tiga dari 10 fraksi menolak tegas program pembangunan dapil. Ketiga fraksi itu adalah Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Fraksi Partai Nasdem, dan Fraksi Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura). Bahkan, sejumlah anggota Fraksi Nasdem memilih meninggalkan ruang rapat paripurna (walk out) sebagai wujud penolakan UP2DP. Menurut para anggota Fraksi Nasdem, mereka ragu dana dapil mampu menciptakan pemerataan pembangunan.
Wakil Sekretaris Fraksi Nasdem Supiadin mencontohkan, jumlah anggota DPR di Pulau Jawa lebih banyak daripada Papua. Dengan skema dana dapil anggota DPR, tentu saja Pulau Jawa menerima anggaran lebih besar daripada Papua. Padahal, rakyat Papua justru sudah lama sekali tertinggal dalam pembangunan Indonesia.
Apabila direnungkan, dana dapil jelas menciptakan ketidakadilan baru bagi daerah. Peran Dewan Perwakilan Daerah selama ini seolah dikerdilkan sehingga ada ketidakseimbangan pembangunan karena lagi-lagi anggaran kembali terpusat di Pulau Jawa.
"Fraksi PDI-P akan konsisten menolak. Seandainya pemerintah menerima usulan program pembangunan dapil, kami tidak akan ikut memanfaatkan. Kami konsisten, tidak akan mengajukan usulan program," kata Wakil Ketua Fraksi PDI-P DPR Arif Wibowo, Rabu (8/7), di Jakarta.