Perubahan sikap, posisi, dan kebijakan secara cepat dalam konteks flip flop biasanya disertai upaya justifikasi. Pejabat atau politisi bersangkutan mengklaim perubahan itu konsisten—antara kebijakan awal dan perubahan yang dilakukan. Bahkan, mereka berhujah, revisi atau perubahan itu perlu untuk menciptakan keadaan lebih baik lagi.
Terlepas dari apakah justifikasi dan klaim itu bisa diterima publik, flip flop memunculkan citra pejabat yang mudah berubah, tergantung "arah angin". Jika angin terlalu kencang—seperti protes dari kalangan publik—dia segera mengubah pandangan, posisi, dan kebijakannya. Terlihat dia tidak kokoh (firm) dengan pandangan, sikap, dan keputusan yang telah dia ambil sebelumnya.
Langkah flip flop atau U-turn tidak menguntungkan bagi konsistensi, keteguhan, dan wibawa pemerintah. Jika kasus seperti ini berlanjut, kredibilitas dan wibawa Presiden menjadi taruhan. Sudah waktunya Presiden meningkatkan koordinasi dan harmonisasi kementerian serta lembaga. Koordinasi mutlak tidak hanya terkait peraturan, tetapi juga dalam berbagai fungsi dan program.
Presiden perlu lebih memfungsikan atau menugaskan khusus pejabat tertentu di sekitarnya untuk betul-betul memelototi setiap PP, perpres, atau keppres sebelum dia tanda tangani. Hanya dengan itu, Joko Widodo terselamatkan dari citra flip flop yang tak menguntungkan.
Azyumardi Azra
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta; Penerima MIPI Awards 2014 untuk Kategori Pemerhati Pemerintahan dari Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Juli 2015, di halaman 15 dengan judul "Revisi Peraturan Pemerintah".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.