Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Revisi Peraturan Pemerintah

Kompas.com - 08/07/2015, 01:32 WIB


Oleh: Azyumardi Azra

JAKARTA, KOMPAS - Presiden Joko Widodo agaknya kembali melakukan kebijakan yang bagi sebagian kalangan disebut blunder. Kali ini ketika Jokowi memerintahkan Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri bersama Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Elvyn Masassya (3/7/2015) merevisi atau mengubah bagian tertentu atas Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2015 tentang Jaminan Hari Tua. Padahal, PP itu belum lama ditandatangani Presiden, persisnya 30 Juni 2015.

Revisi PP JHT tampaknya terkait erat dengan protes dan demonstrasi kaum pekerja yang mulai marak begitu mereka mengetahui isi PP JHT. Mereka berdemo tidak hanya di tengah puasa Ramadhan yang panas, tetapi juga mengancam bakal mengerahkan massa besar awal Agustus 2015.

Mereka, misalnya, menuntut untuk bisa mencairkan dana JHT sebulan setelah keluar dari tempat bekerja. Tuntutan buruh ini kemudian menjadi substansi ”arahan” Presiden untuk merevisi PP JHT.

Bukan hanya kali ini Presiden mengubah peraturan atau keputusan yang ditetapkannya. Sebelumnya, kontroversi muncul terkait Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2015 tentang Uang Muka Pembelian Kendaraan bagi Para Pejabat Tinggi Kementerian/Lembaga/Komisi. Setelah marak protes dan heboh pro-kontra, Presiden segera mencabut perpres tersebut (6/5/2015).

Masih ada lagi perpres bermasalah, misalnya Perpres No 190/2014 tentang Penataan Tugas dan Fungsi Kabinet Kerja yang dicabut dengan penerbitan perpres untuk setiap kementerian, Perpres No 190/2014 tentang Unit Staf Kepresidenan yang direvisi lewat Perpres No 26/2015, dan Perpres No 6/2015 tentang Badan Ekonomi Kreatif yang ternyata tidak jelas kelembagaannya.

Dari satu segi, revisi, perubahan, atau pencabutan PP atau perpres memperlihatkan sensitivitasPresiden terhadap aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat—apalagi aspirasi itu diekspresikan secara keras.

Namun, di sisi lain, perubahan PP atau perpres dalam waktu tak terlalu lama memperlihatkan kurangnya pengkajian cermat, mendalam, dan komprehensif berbagai hal yang mau diatur dan ditetapkan Presiden. Muncul juga kesan, rancangan PP atau perpres itu disiapkan secara terburu-buru.

Ini mencerminkan kelemahan koordinasi antarinstansi, lembaga, dan tenaga ahli terkait hal dan masalah yang mau diatur lewat keputusan Presiden. Akibatnya, draf PP atau perpres sampai ke meja Presiden belum sempurna, masih ada poin krusial yang terbukti mengundang reaksi keras masyarakat.

Kasus ini sekaligus mengindikasikan, Presiden tidak membaca naskah PP atau perpres yang ditandatangani secara cermat. Presiden terlihat percaya dan tergantung sepenuhnya kepada paraf pejabat kementerian terkait, Sekretariat Negara, atau Sekretaris Kabinet.

Sudah menjadi praktik lazim, pejabat tinggi seperti menteri membubuhkan parafnya begitu saja setelah melihat ada paraf dirjen atau staf ahli, misalnya. Namun, ketika Presiden menandatangani PP atau perpres, publik sulit menerima alasan apa pun; apakah karena Presiden tidak cermat membaca pasal demi pasal, halaman demi halaman, atau ayat demi ayat peraturan itu. Publik mengharapkan Presiden betul-betul cermat sehingga terhindar dari kesalahan yang tidak perlu.

Presiden juga tidak bisa beralasan kasus seperti itu terjadi karena lemahnya koordinasi antarpejabat pada kementerian/lembaga terkait sehingga peraturan yang sudah ditandatangani seolah nyelonong begitu saja.

Apa punpenyebabnya, revisi atau perubahan PP atau perpres dalam waktu cepat memunculkan citra flip flop bagi Presiden. Istilah flip flop yang lazim digunakan dalam politik Amerika Serikat atau U-turn di Inggris atau backflip di Australia dan Selandia Baru mengacu pada sikap atau perilaku pejabat atau politisi yang mudah dan tergopoh-gopoh mengubah pendapat atau keputusannya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Halalbihalal Merawat Negeri

Halalbihalal Merawat Negeri

Nasional
Tak Ada Tim Transisi pada Pergantian Pemerintahan dari Jokowi ke Prabowo

Tak Ada Tim Transisi pada Pergantian Pemerintahan dari Jokowi ke Prabowo

Nasional
Kasasi KPK Dikabulkan, Eltinus Omaleng Dihukum 2 Tahun Penjara

Kasasi KPK Dikabulkan, Eltinus Omaleng Dihukum 2 Tahun Penjara

Nasional
Penetapan Presiden di KPU: Prabowo Mesra dengan Anies, Titiek Malu-malu Jadi Ibu Negara

Penetapan Presiden di KPU: Prabowo Mesra dengan Anies, Titiek Malu-malu Jadi Ibu Negara

Nasional
Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

Gibran Bertemu Ma'ruf Amin, Saat Wapres Termuda Sowan ke yang Paling Tua

Nasional
Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Anies Dinilai Masih Berpeluang Maju Pilkada Jakarta, Mungkin Diusung Nasdem dan PKB

Nasional
Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Petuah Jokowi-Ma'ruf ke Prabowo-Gibran, Minta Langsung Kerja Usai Dilantik

Nasional
Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Kejagung Periksa 3 Saksi Terkait Kasus Korupsi Timah, Salah Satunya Pihak ESDM

Nasional
Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Tak Dukung Anies Maju Pilkada Jakarta, PKS Dinilai Ogah Jadi “Ban Serep” Lagi

Nasional
2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

2 Prajurit Tersambar Petir di Mabes TNI, 1 Meninggal Dunia

Nasional
Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Usung Perubahan Saat Pilpres, PKB-Nasdem-PKS Kini Beri Sinyal Bakal Gabung Koalisi Prabowo

Nasional
[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

[POPULER NASIONAL] Anies-Muhaimin Hadir Penetapan Presiden-Wapres Terpilih Prabowo-Gibran | Mooryati Soedibjo Tutup Usia

Nasional
Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Sejarah Hari Posyandu Nasional 29 April

Nasional
Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 27 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Wakil Ketua KPK Dinilai Punya Motif Buruk Laporkan Anggota Dewas

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com