Beberapa tahun belakangan, rasa memiliki itu juga diekspresikan dalam sikap intervensionis terhadap TVRI dan RRI. Beberapa partai politik atau politisi yang merasa berkontribusi dalam politik anggaran TVRI dan RRI merasa layak mendapatkan privilese dalam pemilihan Dewan Pengawas dan (secara tidak langsung) Dewan Direksi TVRI dan RRI. Selanjutnya, mereka juga berpikir untuk mendapatkan keuntungan dari proyek pembangunan, pengadaan barang TVRI dan RRI, serta dari kebijakan redaksi.
Perlu digarisbawahi, aset dan pengaruh TVRI dan RRI, bagaimanapun, masih menggiurkan. TVRI Pusat berdiri di atas lahan yang sangat luas, strategis, dan amat potensial dialihkelolakan ke pihak swasta untuk proyek komersial, sebagaimana lahan bekas Taman Ria Senayan di sebelahnya. Wacana tukar guling lahan TVRI sempat mengemuka pada DPR periode lalu.
Dengan mempertimbangkan konteks politik yang demikian ini, gagasan penyatuan RRI dan TVRI seperti pedang bermata dua. Gagasan ini adalah peluang yang baik untuk memperkuat eksistensi lembaga penyiaran publik di Indonesia. Namun, gagasan itu juga berpotensi melemahkan lembaga penyiaran publik jika yang menonjol dalam UU RTRI ternyata adalah penguatan wewenang DPR atau pemerintah dalam mengontrol segi-segi kelembagaan dan operasionalisasi TVRI dan RRI. Seperti kata sebuah adagium, "jika sudah memasuki ranah politik, segala sesuatu bisa terjadi".
Agus Sudibyo
Direktur Eksekutif Matriks Indonesia
* Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 3 Juni 2015 dengan judul "Beban Politik TVRI-RRI".
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.