Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjaga Kemurnian Pilkada

Kompas.com - 28/05/2015, 15:08 WIB


Oleh: Fadli Ramadhanil

JAKARTA, KOMPAS - Pemilihan kepala daerah serentak 2015 sejatinya kesempatan bagi rakyat untuk merotasi kepemimpinan di daerah. Inilah waktu yang tepat bagi rakyat untuk mengevaluasi atau bahkan memberikan koreksi pada kepemimpinan kepala daerah.

Jika kepala daerah saat ini masih memenuhi syarat, serta dianggap cakap memimpin daerah, rakyat berhak memilih kembali yang bersangkutan. Namun, sebaliknya, ketika janji politik terlupakan, mandat rakyat diabaikan dan tak ada perbaikan kesejahteraan di daerah yang dipimpin, maka pilkada adalah kesempatan paling baik untuk memperbaiki dan mengganti pemimpin daerah.

Dibajak elite politik

Kesempatan baik untuk rakyat inilah yang hendak dibajak oleh segelintir elite politik. Basis persoalan tentu saja kisruh kepengurusan dua partai "tua", Golkar dan PPP. Sengketa kepengurusan yang masih berlangsung mulai dikhawatirkan para elite partainya karena partai mereka terancam tidak bisa mengajukan pasangan calon kepala daerah.

Ancaman kegagalan mengikuti kontestasi pilkada semakin menguat setelah para elite partai melalui Komisi II DPR, gagal "memaksa" KPU untuk mengakomodasi kepentingan kelompok politik tertentu terkait pencalonan kepala daerah. Komisi II DPR mencoba memastikan ke KPU, agar posisi dua partai politik yang sedang bersengketa tetap dapat mengikuti pencalonan kepala daerah.

Caranya dengan merekomendasikan agar KPU cukup merujuk putusan pengadilan terakhir, jika pada tahapan pencalonan dimulai, belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap terkait sengketa kepengurusan kedua partai politik.

Rekomendasi ini jelas membahayakan KPU. Tidak mungkin KPU menjadikan putusan pengadilan yang belum berkekuatan hukum tetap sebagai rujukan dalam memverifikasi kepengurusan partai politik saat pencalonan kepala daerah. Selain bertentangan dengan prinsip kepastian hukum, rekomendasi ini membahayakan keseluruhan legitimasi pilkada.

KPU akhirnya tidak mengikuti rekomendasi Komisi II DPR. KPU memutuskan hanya merujuk pada SK Kemenkumham terkait pengesahan kepengurusan partai politik. Jika SK tersebut sedang disengketakan di pengadilan, KPU akan menunggu putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Skenario terburuk, andai nanti belum terdapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, dan tahapan pencalonan kepala daerah sudah ditutup, kedua partai politik yang bersengketa harus absen dalam pencalonan kepala daerah Desember nanti.

Kondisi inilah yang membuat DPR meradang. Kegagalan meyakinkan KPU, membuat DPR mewacanakan akan merevisi UU 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota. Bagian yang akan direvisi terbatas sekali. DPR hanya akan memastikan jika belum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap ketika tahapan pencalonan dimulai, KPU diminta untuk merujuk pada putusan pengadilan yang terakhir saja.

Sektoral

Rencana DPR untuk merevisi UU Pilkada di tengah tahapan yang sudah berjalan jelas langkah keliru sehingga sangat patut untuk ditentang. Wacana perubahan dan penambahan norma di dalam UU Pilkada hanyalah untuk mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu.

DPR perlu ingat, politik hukum lebih mirip etika, yang menuntut agar tujuan yang dipilih dapat dibenarkan oleh akal sehat yang dapat diuji, dan cara yang ditetapkan untuk mencapainya dapat dites dengan kriteria moral (Bernard L Tanya, 2011).

Jika hari ini rencana revisi UU Pilkada hanya untuk melindungi kepentingan Partai Golkar dan PPP, langkah DPR telah melenceng dari prinsip hukum untuk kepentingan setiap orang dan berlaku umum tanpa kecuali (erga omnes). Maka dari itu, rencana DPR ini mesti dihentikan. Presiden sebagai pemegang hak yang sama dengan DPR dalam membentuk, mengubah, dan menyetujui suatu undang-undang, harus bersikap.

Presiden beserta dengan jajarannya, seperti Kemendagri, tidak perlu ikut rencana ini. Jika presiden menyatakan menolak rencana revisi UU Pilkada, tidak akan ada perubahan satu pasal pun di dalam UU Pilkada. Langkah ini perlu diambil untuk mengingatkan DPR bahwa pilkada bukanlah milik dan kepentingan partai politik semata.

Penyelenggaraan pilkada mesti dimaknai sebagai pembangunan demokrasi lokal, pergantian pemerintahan di daerah, dan jaminan perbaikan kesejahteraan masyarakat yang jauh lebih fundamental daripada kepentingan elite politik semata.

Maka langkah tegas presiden sangat ditunggu. Presiden mesti berani menghentikan revisi UU Pilkada yang dipaksakan DPR. Jika presiden abai dan membiarkan revisi UU Pilkada ini berjalan, masa depan demokrasi dan penyelenggaraan pilkada sedang menuju lorong gelap.

Fadli Ramadhanil
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)

* Artikel ini terbit di harian Kompas edisi 28 Mei 2015 dengan judul "Menjaga Kemurnian Pilkada".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo-Titiek Soeharto Hadiri Acara Ulang Tahun Istri Wismoyo Arismunandar, Ada Wiranto-Hendropriyono

Prabowo-Titiek Soeharto Hadiri Acara Ulang Tahun Istri Wismoyo Arismunandar, Ada Wiranto-Hendropriyono

Nasional
Banyak Catatan, DPR Dorong Revisi UU Pemilu Awal Periode 2024-2029

Banyak Catatan, DPR Dorong Revisi UU Pemilu Awal Periode 2024-2029

Nasional
Pakar Ragu UU Lembaga Kepresidenan Terwujud jika Tak Ada Oposisi

Pakar Ragu UU Lembaga Kepresidenan Terwujud jika Tak Ada Oposisi

Nasional
Istana Sebut Pertemuan Jokowi dan Prabowo-Gibran Semalam Atas Inisiatif Prabowo

Istana Sebut Pertemuan Jokowi dan Prabowo-Gibran Semalam Atas Inisiatif Prabowo

Nasional
Presiden Jokowi Ucapkan Selamat Saat Bertemu Prabowo Semalam

Presiden Jokowi Ucapkan Selamat Saat Bertemu Prabowo Semalam

Nasional
Jokowi Siapkan Program Unggulan Prabowo-Gibran Masuk RAPBN 2025

Jokowi Siapkan Program Unggulan Prabowo-Gibran Masuk RAPBN 2025

Nasional
CSIS: Mayoritas Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik

CSIS: Mayoritas Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik

Nasional
Korlantas Kaji Pengamanan Lalu Lintas Jelang World Water Forum Ke-10 di Bali

Korlantas Kaji Pengamanan Lalu Lintas Jelang World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Jokowi Dukung Prabowo-Gibran Rangkul Semua Pihak Pasca-Pilpres

Jokowi Dukung Prabowo-Gibran Rangkul Semua Pihak Pasca-Pilpres

Nasional
Pakar Sebut Semua Lembaga Tinggi Negara Sudah Punya Undang-Undang, Hanya Presiden yang Belum

Pakar Sebut Semua Lembaga Tinggi Negara Sudah Punya Undang-Undang, Hanya Presiden yang Belum

Nasional
Saksi Ungkap SYL Minta Kementan Bayarkan Kartu Kreditnya Rp 215 Juta

Saksi Ungkap SYL Minta Kementan Bayarkan Kartu Kreditnya Rp 215 Juta

Nasional
Saksi Sebut Bulanan untuk Istri SYL dari Kementan Rp 25 Juta-Rp 30 Juta

Saksi Sebut Bulanan untuk Istri SYL dari Kementan Rp 25 Juta-Rp 30 Juta

Nasional
Tata Kelola Dana Pensiun Bukit Asam Terus Diperkuat

Tata Kelola Dana Pensiun Bukit Asam Terus Diperkuat

Nasional
Jelang Disidang Dewas KPK karena Masalah Etik, Nurul Ghufron Laporkan Albertina Ho

Jelang Disidang Dewas KPK karena Masalah Etik, Nurul Ghufron Laporkan Albertina Ho

Nasional
Kejagung Diminta Segera Tuntaskan Dugaan Korupsi Komoditi Emas 2010-2022

Kejagung Diminta Segera Tuntaskan Dugaan Korupsi Komoditi Emas 2010-2022

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com