JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Komisi I DPR Mahfudz Sidik meminta pemerintah Indonesia harus siap menangani tekanan dari berbagai pihak terkait eksekusi terpidana mati kasus narkoba. Terlebih lagi, kata dia, eksekusi mati yang dilakukan sudah menimbulkan sorotan, baik oleh media nasional hingga media asing.
"Satu kritik saya adalah, jangan lakukan penegakan hukum dengan pendekatan drama. Riuh tapi kita sendiri enggak siap hadapi reaksi penonton," kata Mahfudz saat dihubungi, Rabu (29/4/2015).
Mahfudz menilai, saat ini Indonesia masih belum siap dengan reaksi dan tekanan, baik yang datang dari dalam maupun luar negeri. Pasalnya, pemerintah sudah menunda eksekusi mati warga negara asal Filipina, Mary Jane Veloso. (Baca: Jokowi: Eksekusi Mati Mary Jane Tidak Dibatalkan)
"Reaksi sejumlah negara adalah ujian konsistensi bagi pemerintah. Tapi penundaan eksekusi Mary Jane, terlepas apapun alasannya, telah buat pemerintah buka celah tekanan makin besar," ucap politisi PKS itu.
Kedepannya, Mahfudz berharap pemerintah bisa konsisten dalam menerapkan aturan hukum sebagaimana mestinya. Namun di sisi lain, Indonesia juga harus menjaga hubungan baik dengan negara lainnya.
"Ini soal manajemen risiko yang harus dikelola dengan baik," ucap Mahfudz.
Pemerintah Australia langsung bereaksi atas eksekusi mati dua warganya, Andrew Chan dan Myuran Sukumaran. Keduanya dieksekusi mati bersama enam terpidana lainnya di Nusakambangan, Cilacap, Rabu dini hari.
Perdana Menteri Australia Tony Abbott telah memanggil Duta Besar Australia untuk Indonesia Paul Gibson sebagai bentuk protes. (Baca: Abbott Panggil Dubes Australia untuk Indonesia)
Wakil Presiden Jusuf Kalla menganggap langkah Australia itu hal lumrah. Ia menyakini hubungan kedua negara akan kembali normal nantinya. (baca: JK Prediksi Protes Australia Hanya Selama Sebulan)