Kedua, nilai bisa dipercaya. Banyak orang melakukan kebohongan publik saat ini. Maka, perlu dibangkitkan lagi integritas ini di kalangan rakyat maupun birokrasi pemerintah, agar tercipta kejujuran publik dan Indonesia bebas korupsi.
Ketiga, nilai kemandirian. Sebagai bangsa kita sekarang amat tergantung pada bangsa lain, dari teknologi sampai pangan. Bangun kemandirian dengan membenahi kebijakan pembangunan dan regulasi.
Keempat, nilai kreativitas. Sumber daya alam terbatas, tetapi kreativitas tidak terbatas. Karena itu, banyak bangsa berlomba mengasah kreativitasnya. Kebudayaan Nusantara sebenarnya amat kreatif, tetapi kini banyak kebijakan dan regulasi yang menghambat. Dengan revolusi mental kita harus bisa membangkitkannya kembali.
Kelima, nilai gotong royong. Inilah inti dari Pancasila, andalan bangsa sejak dulu kala. Tetapi, kita merasakan kemerosotan yang dahsyat baik di komunitas kecil maupun sistem ekonomi dan politik yang liberal, oligarkis dan monopolistik. Revolusi mental harus mengembalikan karakter gotong royong dalam bentuk yang lebih modern.
Keenam. Nilai saling menghargai. Sebagai bangsa majemuk, kelangsungan hidup bangsa Indonesia sangat bergantung pada nilai ini. Namun, kita menyaksikan toleransi dan kesetiakawanan sosial semakin merosot. Kelompok-kelompok ekstrem saat ini tanpa malu-malu menunjukkan bahwa mereka tidak mau menerima kehadiran kelompok lain yang berbeda agama, ras, dan suku. Revolusi mental harus mampu membangun toleransi dan saling menghargai ini.
Kesepakatan nasional dalam hal ini penting, sebab revolusi membutuhkan fokus dan komitmen. Memang masih banyak nilai lain yang penting, tetapi kita harus memilih yang paling strategis dan dibutuhkan.
Hanya dengan cara itu revolusi mental secara nasional bisa terjadi. Bangsa Korea dengan gerakan "Saemaul Undong" hanya mengangkat tiga nilai saja: kerja sama, kemandirian, dan kerja keras. Mereka berhasil karena melaksanakannya secara konsisten dan persisten.
Upaya mewujudkan
Agar tidak berhenti menjadi retorika, pokja revolusi mental telah mengusulkan delapan prinsip revolusi mental.
Pertama, bukan proyek pemerintah, tetapi gerakan masyarakat yang difokuskan pada pengembangan enam nilai strategis. Harus ada komitmen dari pemerintah yang ditandai dengan reformasi birokrasi untuk mendorong dan memfasilitasi perubahan sikap dan perilaku masyarakat.
Revolusi mental harus dilaksanakan secara lintas sektor dan partisipatoris. Salah satunya lewat penanaman nilai secara bertalu-talu melalui kampanye, aksi sosial, media sosial, film, sinetron, games, dan pengumuman terus menerus di tempat-tempat umum untuk antre, menjaga kebersihan, dan seterusnya. Desain program harus mudah dilaksanakan, populer bagi semua usia, dan sesuai budaya lokal.
Hasil gerakan revolusi mental harus dapat diukur dampaknya kepada perilaku masyarakat. Perlu dipantau departemen apa yang kebijakannya mendukung atau justru menghambat pengembangannya. Presiden Jokowi harusnya bisa melihat sejauh mana pemerintahannya berhasil mengimplementasikan revolusi mental secara nyata di Indonesia.
Kita harus berubah sekarang juga, sebab bangsa-bangsa lain sudah jauh lebih maju. Revolusi mental perlu segera dipersiapkan pelaksanaannya, bukan untuk dikaji secara berkepanjangan atau bahkan dipertengkarkan.
Pemerintahan Jokowi harus segera bertindak, karena enam bulan sudah terlewatkan begitu saja. Revolusi mental adalah janji suci. Sekali layar terkembang, pantang kita bersurut.
Paulus Wirutomo
Sosiolog; Mantan Ketua Pokja Revolusi Mental pada Rumah Transisi Jokowi-JK 2014
* Artikel ini telah ditayangkan di Harian Kompas edisi Rabu (29/4/2015).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.