Oleh: Yudi Latif
JAKARTA, KOMPAS - Memasuki tahun 1815, Gunung Tambora yang sejak beberapa tahun sudah gaduh-bergemuruh dengan kepulan asap gelap dari puncaknya ibarat hamil tua yang tinggal menunggu waktu mustari. Selasa sore, 5 April, gunung tertinggi di Pulau Sumbawa itu pun meletus dengan ledakan katastropik yang dahsyat.
Hanya dalam hitungan minggu, awan abu sulfat yang dimuntahkannya sudah mengeli- lingi Planet Bumi di wilayah ekuator, lantas perlahan menutupi langit di semua lintang, menurunkan suhu, dan merusak sistem cuaca global selama lebih dari tiga tahun. Itulah masa yang disebut orang-orang Inggris sebagai "tahun-tahun tanpa musim panas".
Dampak susulan yang ditimbulkannya, berupa badai, banjir, dan kekeringan, membuat masyarakat di seantero dunia menderita kelangkaan pangan, penyakit, dan kerusakan parah. Inilah masa yang disebut orang-orang Jerman sebagai "tahun-tahun pengemis", yang membuat para penyair Tiongkok, seperti Li Yuyang, menghidupkan kembali gaya syair ratapan, "Tujuh Kesedihan". Dalam gambaran penyair WB Yeats, pada tahun-tahun setelah 1815, masyarakat manusia "diubah, diubah sama sekali"; diubah dengan cara-cara yang radikal, dari keadaan mereka pra-erupsi Tambora.
Dalam kosmologi masyarakat Nusantara dan bangsa-bangsa lain di dunia, letusan gu- nung dimaknai lebih dari sekadar fenomena alam. Vulkanisme dipandang sebagai simbol kekuasaan. Para raja menampilkan diri sebagai keturunan sang dewa gunung, Siwa. Erupsi gunung dengan sendirinya mengandung isyarat politik, sebagai pertanda hukuman atas buruknya pemerintahan penguasa, yang dapat menggoyahkan legitimasi penguasa di mata rakyat (Wood, 2014).
April 2015. Dua ratus tahun setelah supererupsi Tambora, ledakan vulkanis tidak terjadi di pulau yang sama. Namun, rangkaian awan gelap kehidupan politik seperti hendak mendaur ulang suasana tahun-tahun kegelapan, tahun pengemis, dan kesedihan. Gemuruh volkano politik yang sejak beberapa tahun terakhir bertambah gaduh, seperti hamil tua yang menanti pelepasan.
Harapan kedatangan pemimpin baru sebagai ratu adil bertolak belakang dengan kenyataan. Kepemimpinan negara seperti layangan putus benang di tengah impitan kesengsaraan rakyat dan pertikaian kepentingan elite yang tercerabut dari nasib rakyat.
Kebutuhan pokok, seperti beras, bahan bakar minyak, dan elpiji, terus naik harganya dengan pasokan yang makin sulit diperoleh. Saat yang sama, kemerosotan nilai tukar rupiah bersamaan dengan kenaikan tarif kereta ekonomi, rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas tarif listrik dan tol, kenaikan biaya meterai, serta kenaikan harga kebutuhan lain kian membebani rakyat.
Subsidi untuk rakyat dipangkas, tetapi subsidi pembelian mobil bagi pejabat negara hendak dinaikkan; meski kemudian dibatalkan. Kebocoran pendapatan negara tetap tak bisa ditekan dan pembiayaan negara kembali bergantung pada utang luar negeri.
Konflik dan pertikaian antarlembaga negara merebak di ruang publik dan melemah- kan kebersamaan. Institusi KPK sebagai mahkota reformasi untuk pemerintahan bersih mengalami hantaman dan demoralisasi yang menggoyahkan eksistensinya.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.