Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Letusan Tambora Politik

Kompas.com - 14/04/2015, 16:47 WIB


Oleh: Yudi Latif

JAKARTA, KOMPAS - Memasuki tahun 1815, Gunung Tambora yang sejak beberapa tahun sudah gaduh-bergemuruh dengan kepulan asap gelap dari puncaknya ibarat hamil tua yang tinggal menunggu waktu mustari. Selasa sore, 5 April, gunung tertinggi di Pulau Sumbawa itu pun meletus dengan ledakan katastropik yang dahsyat.

Hanya dalam hitungan minggu, awan abu sulfat yang dimuntahkannya sudah mengeli- lingi Planet Bumi di wilayah ekuator, lantas perlahan menutupi langit di semua lintang, menurunkan suhu, dan merusak sistem cuaca global selama lebih dari tiga tahun. Itulah masa yang disebut orang-orang Inggris sebagai "tahun-tahun tanpa musim panas".

Dampak susulan yang ditimbulkannya, berupa badai, banjir, dan kekeringan, membuat masyarakat di seantero dunia menderita kelangkaan pangan, penyakit, dan kerusakan parah. Inilah masa yang disebut orang-orang Jerman sebagai "tahun-tahun pengemis", yang membuat para penyair Tiongkok, seperti Li Yuyang, menghidupkan kembali gaya syair ratapan, "Tujuh Kesedihan". Dalam gambaran penyair WB Yeats, pada tahun-tahun setelah 1815, masyarakat manusia "diubah, diubah sama sekali"; diubah dengan cara-cara yang radikal, dari keadaan mereka pra-erupsi Tambora.

Dalam kosmologi masyarakat Nusantara dan bangsa-bangsa lain di dunia, letusan gu- nung dimaknai lebih dari sekadar fenomena alam. Vulkanisme dipandang sebagai simbol kekuasaan. Para raja menampilkan diri sebagai keturunan sang dewa gunung, Siwa. Erupsi gunung dengan sendirinya mengandung isyarat politik, sebagai pertanda hukuman atas buruknya pemerintahan penguasa, yang dapat menggoyahkan legitimasi penguasa di mata rakyat (Wood, 2014).

April 2015. Dua ratus tahun setelah supererupsi Tambora, ledakan vulkanis tidak terjadi di pulau yang sama. Namun, rangkaian awan gelap kehidupan politik seperti hendak mendaur ulang suasana tahun-tahun kegelapan, tahun pengemis, dan kesedihan. Gemuruh volkano politik yang sejak beberapa tahun terakhir bertambah gaduh, seperti hamil tua yang menanti pelepasan.

Harapan kedatangan pemimpin baru sebagai ratu adil bertolak belakang dengan kenyataan. Kepemimpinan negara seperti layangan putus benang di tengah impitan kesengsaraan rakyat dan pertikaian kepentingan elite yang tercerabut dari nasib rakyat.

Kebutuhan pokok, seperti beras, bahan bakar minyak, dan elpiji, terus naik harganya dengan pasokan yang makin sulit diperoleh. Saat yang sama, kemerosotan nilai tukar rupiah bersamaan dengan kenaikan tarif kereta ekonomi, rencana pengenaan Pajak Pertambahan Nilai atas tarif listrik dan tol, kenaikan biaya meterai, serta kenaikan harga kebutuhan lain kian membebani rakyat.

Subsidi untuk rakyat dipangkas, tetapi subsidi pembelian mobil bagi pejabat negara hendak dinaikkan; meski kemudian dibatalkan. Kebocoran pendapatan negara tetap tak bisa ditekan dan pembiayaan negara kembali bergantung pada utang luar negeri.

Konflik dan pertikaian antarlembaga negara merebak di ruang publik dan melemah- kan kebersamaan. Institusi KPK sebagai mahkota reformasi untuk pemerintahan bersih mengalami hantaman dan demoralisasi yang menggoyahkan eksistensinya.

Partai politik sebagai pilar demokrasi kehilangan independensi dan kesolidannya karena penetrasi aneka kepentingan dari luar yang mengarah pada perpecahan, tanpa komitmen pemerintah untuk menjaga iklim yang sehat bagi pertumbuhan kepartaian.

Dalam kemerosotan wibawa pemerintah sebagai pusat teladan, seperti berulang-ulang terjadi sepanjang sejarah bangsa ini, kekacauan segera meledak di wilayah pinggiran: kriminalitas, aksi-aksi perampokan, pembunuhan, dan radikalisme mewarnai kehidupan rakyat sehari-hari.

Meluasnya kekecewaan menghidupkan kembali puisi-puisi ratapan. Pertukaran pesan di media sosial dibanjiri caci maki dan keputusasaan. Di tengah kemurungan, gemuruh "Tambora politik" seperti menemukan letupannya di Kongres PDI-P di Bali (9-12 April), partai pendukung utama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Dalam pembukaan kongres, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri mengingatkan Jokowi mengenai potensi penumpang gelap pemerintahan yang semula hadir dalam wajah kerakyatan, kemudian berubah menjadi hasrat menguasai sumber daya alam. "Inilah sisi gelap kekuasaan. Guna mencegah hal itu, saya menyerukan agar Indonesia ke depan harus benar-benar tangguh, dengan kepemimpinan nasional baru. Inilah saatnya kontrak Merah-Putih ditegakkan."

Pernyataan Megawati yang menyiratkan bahwa Presiden bagaimanapun masih menjadi "petugas partai" menuai kontroversi. Banyak pengamat yang memaknai istilah ini secara harfiah, seolah-olah Megawati-lah bosnya, adapun Jokowi hanyalah kacungnya. Akan tetapi, jika diletakkan dalam konteks pernyataan Megawati yang bernada ideologis, istilah "petugas partai" yang ia maksudkan tidaklah serendah itu. "Petugas partai" lebih dimaknai sebagai aparatus ideologis. Alhasil, Jokowi sebagai kader partai merupakan aparatus ideologis PDI-P yang tak boleh berkhianat terhadap Marhaenisme. Jika Jokowi konsisten dengan doktrin Trisakti dan visi-misi Nawacita sebagai turunannya, sebagai ekspresi ideologi PDI-P, dengan sendirinya Jokowi sebagai "petugas partai" itu sebangun dengan Jokowi sebagai "petugas rakyat Indonesia".

Namun, faktanya, rezim pilpres mahal biaya membuat Jokowi "berutang" kepada banyak orang, yang harus ia "bayar" setelah terpilih. Untuk itu, Jokowi harus mengakomodasi kepentingan banyak pihak, termasuk pihak-pihak yang secara ideologis bertentangan dengan Trisakti dan Nawacita.

Titik berangkat pemerintahan Jokowi ditandai dengan inkonsistensi. Karsa menggelorakan revolusi mental, tetapi pemerintahannya justru didominasi orang yang kontra dan anti revolusi. Jika hal itu terus berlanjut, konflik internal pemerintahan akan terus terjadi bersamaan dengan kian merosotnya kepercayaan publik pada janji-janji pemerintah. Harus segera dicegah agar tak berujung pada erupsi "Tambora politik" yang bersifat apokaliptik.

Yudi Latif
Pemikir Kebangsaan dan Kenegaraan

* Artikel ini sebelumnya tayang di Harian Kompas edisi Selasa (14/4/2015).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Sejarah Hari Bhakti Pemasyarakatan 27 April

Sejarah Hari Bhakti Pemasyarakatan 27 April

Nasional
Tanggal 26 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 26 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Golkar Ungkap Faktor Keadilan Jadi Rumusan Prabowo Bentuk Komposisi Kabinet

Golkar Ungkap Faktor Keadilan Jadi Rumusan Prabowo Bentuk Komposisi Kabinet

Nasional
Soal Gugatan PDI-P ke PTUN, Pakar Angkat Contoh Kasus Mulan Jameela

Soal Gugatan PDI-P ke PTUN, Pakar Angkat Contoh Kasus Mulan Jameela

Nasional
Prabowo: Kami Akan Komunikasi dengan Semua Unsur untuk Bangun Koalisi Kuat

Prabowo: Kami Akan Komunikasi dengan Semua Unsur untuk Bangun Koalisi Kuat

Nasional
PDI-P Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda, KPU: Pasca-MK Tak Ada Pengadilan Lagi

PDI-P Minta Penetapan Prabowo-Gibran Ditunda, KPU: Pasca-MK Tak Ada Pengadilan Lagi

Nasional
Sedang di Yogyakarta, Ganjar Belum Terima Undangan Penetapan Prabowo-Gibran dari KPU

Sedang di Yogyakarta, Ganjar Belum Terima Undangan Penetapan Prabowo-Gibran dari KPU

Nasional
Pakar Nilai Gugatan PDI-P ke PTUN Sulit Dikabulkan, Ini Alasannya

Pakar Nilai Gugatan PDI-P ke PTUN Sulit Dikabulkan, Ini Alasannya

Nasional
Airlangga Klaim Pasar Respons Positif Putusan MK, Investor Dapat Kepastian

Airlangga Klaim Pasar Respons Positif Putusan MK, Investor Dapat Kepastian

Nasional
PDI-P Sebut Proses di PTUN Berjalan, Airlangga Ingatkan Putusan MK Final dan Mengikat

PDI-P Sebut Proses di PTUN Berjalan, Airlangga Ingatkan Putusan MK Final dan Mengikat

Nasional
Golkar Belum Mau Bahas Jatah Menteri, Airlangga: Tunggu Penetapan KPU

Golkar Belum Mau Bahas Jatah Menteri, Airlangga: Tunggu Penetapan KPU

Nasional
Prabowo: Kami Berhasil di MK, Sekarang Saatnya Kita Bersatu Kembali

Prabowo: Kami Berhasil di MK, Sekarang Saatnya Kita Bersatu Kembali

Nasional
Kepala BNPT: Waspada Perkembangan Ideologi di Bawah Permukaan

Kepala BNPT: Waspada Perkembangan Ideologi di Bawah Permukaan

Nasional
KPK Dalami 2 LHKPN yang Laporkan Kepemilikan Aset Kripto, Nilainya Miliaran Rupiah

KPK Dalami 2 LHKPN yang Laporkan Kepemilikan Aset Kripto, Nilainya Miliaran Rupiah

Nasional
Pertamina dan Polri Jalin Kerja Sama dalam Publikasi untuk Edukasi Masyarakat

Pertamina dan Polri Jalin Kerja Sama dalam Publikasi untuk Edukasi Masyarakat

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com