JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Syarif Hidayat mengatakan, di era demokrasi seperti saat ini masyarakat memang diberikan keleluasaan untuk menentukan siapa calon kepala daerah yang diinginkan untuk memimpin wilayah mereka. Namun persoalannya, belum semua masyarakat melek politik.
"Dibukanya keran partisipasi tapi belum semuanya siap dengan partisipasi, akhirnya mau dibayar. Kalau ngerti politik, enggak mau dibayar," kata Syarif dalam diskusi bertajuk "Membedah Pelaksanaan Otonomi Daerah Dalam Memperkuat Pemerintahan Daerah dan Demkrasi di Indonesia" di Kompleks Parlemen, Jumat (10/4/2015).
Menurut Syarif, tak hanya di tingkat daerah, persoalan serupa juga terjadi manakala pemilihan umum legislatif dan eksekutif di tingkat nasional digelar. Akibatnya, saat ini hanya segelintir elite dari kalangan tertentu saja yang memimpin negeri ini.
"Sekarang ini negara dikuasai beberapa elite untuk society yang beberapa gelintir saja. Sehingga, terjadi persekongkolan elite penguasa dengan elite massa. Inilah yang terjadi pada setiap pemilu dan pilkada," kata dia.
Lebih jauh, ia mengatakan, ada kekeliruan yang dilakukan segelintir kalangan dalam memandang transisi yang terjadi di Indonesia. Ketika Orde Baru bergulir menjadi era reformasi, terjadi perubahan dari gaya kepemimpinan otoriter menuju demokratis. Padahal, menurut dia, transisi yang diharapkan bukanlah seperti itu.
"Seharusnya transisi relasi antara negara dan masyarkat. Ini keliru. Karena kita bukan dari otoriter ke demokrasi, tapi kita personalized governance ke democratic," katanya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.