"Tadi kami baru saja mendaftarkan praperadilan ke PN Jaksel atas nama Pak Hadi Poernomo," ujar Yanuar saat dihubungi.
Pengajuan tersebut terdaftar dengan nomor register 21/tik.trap/2015/pnjkt.sel. Yanuar menilai, KPK tidak berwenang menyelidiki kewenangan Hadi sebagai Dirjen Pajak dalam menerima atau menolak keberatan wajib pajak. Hal tersebut, kata Yanuar, diatur dalam Pasal 25 dan 26 UU Nomor 99 Tahun 1994 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan (UU KPP).
"Jadi, Dirjen Pajak punya kewenangan yang diberikan oleh UU Pajak untuk memeriksa permohonan keberatan wajib pajak," kata Yanuar.
Yanuar mengatakan, Direktur Pajak Penghasilan (PPh) menyampaikan usulan kepada Hadi terkait permohonan keberatan pajak pada 13 Maret 2004. Setelah itu, Hadi membalasnya melalui nota dinas yang meminta Direktur PPh melaksanakan instruksi Menteri Keuangan Nomor 117 Tahun 1999. Dalam nota tersebut, kata Yanuar, disebutkan bahwa sejumlah bank, termasuk BCA, wajib menyerahkan non-performing loan (NPL) ke BPPN dengan nilai nihil.
"Nota dinas itu sifatnya tidak wajib. Jadi, dirjen pajak tidak membuat nota dinas pun tidak persoalan, tidak melanggar apa pun. Justru untuk transparansi dan akuntabilitas," kata Yanuar.
Lagi pula, menurut Yanuar, putusan menerima keberatan pajak PT BCA tahun 1999 bukan ranah tipikor. Hal tersebut, kata dia, diatur dalam Pasal 14 UU Tipikor bahwa pelanggaran UU perpajakan masuk ke ranah tipikor jika ada uang timbal balik dari pelanggar pajak.
"Ini tidak ada. Ketua KPK dulu Abraham Samad kira-kira itu ngomong, KPK tidak bisa (menangani) kecuali ada feedback. Menerima keberatan pajak itu kan bukan kebijakan, tapi kewenangan," kata Yanuar. (Baca: "Mencabut" Keadilan lewat Praperadilan)
Hadi dijerat dalam kapasitasnya sebagai Dirjen Pajak pada 2002-2004. Dalam kasus ini, Hadi selaku Dirjen Pajak diduga mengubah telaah Direktur Pajak Penghasilan mengenai keberatan surat ketetapan pajak nihil pajak penghasilan (SKPN PPh) BCA.
Surat keberatan pajak penghasilan 1999-2003 itu diajukan BCA pada 17 Juli 2003 terkait NPL atau kredit bermasalah senilai Rp 5,7 triliun kepada Direktur PPh Ditjen Pajak. (Baca: KPK Panggil Hadi Poernomo sebagai Tersangka Kasus Pajak BCA)
Setelah penelaahan, diterbitkan surat pengantar risalah keberatan dari Direktur PPh pada 13 Maret 2004 kepada Dirjen Pajak dengan kesimpulan bahwa permohonan keberatan wajib pajak BCA ditolak.
Namun, satu hari sebelum jatuh tempo untuk memberikan keputusan final BCA, 18 Juli 2004, Hadi Poernomo selaku Dirjen Pajak memerintahkan agar Direktur PPh mengubah kesimpulan, yaitu dari semula menyatakan menolak diganti menjadi menerima semua keberatan. (Baca: Giliran Sutan Bhatoegana Ajukan Praperadilan)
Hadi kemudian mengeluarkan surat keputusan Dirjen Pajak yang memutuskan untuk menerima semua keberatan wajib pajak sehingga tidak cukup waktu bagi Direktur PPH untuk memberikan tanggapan atas kesimpulan yang berbeda itu. Negara diduga dirugikan senilai Rp 375 miliar. (Baca: Sidang Praperadilan Suryadharma Ali Digelar 30 Maret)