Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kotak Pandora Negara Hukum

Kompas.com - 02/03/2015, 15:02 WIB


JAKARTA, KOMPAS
- Drama Polri-KPK yang terjadi belakangan ini seperti mengulang kisah serupa tiga tahun lalu dan tiga tahun sebelumnya. KPK menyidik kasus-kasus besar dan serangan balik dari koruptor bermunculan.

Yang tengah kita lihat sekarang sebenarnya sudah melampaui soal Budi Gunawan (BG) ataupun Abraham Samad. Seperti dilaporkan Kompas (18/2/2015), ada langkah-langkah pembunuhan KPK yang tengah dilakukan. Namun, barangkali tak banyak yang menyadari, ujung dari pelemahan KPK ini adalah pembunuhan negara hukum. Dalam kajian-kajian mengenai negara hukum (rule of law) dan institusi, negara hukum kerap dilihat dalam suatu model kompetisi kelembagaan dalam suatu negara. Negara hukum sering kali ditandai dengan lahirnya institusi baru yang mempunyai wewenang kuat. Lahirnya institusi baru ini bisa dipastikan akan mengguncang jagat politik. Lembaga-lembaga dan aktor-aktor politik akan mengubah pola hubungan yang ada selama ini untuk menyesuaikan dengan institusi baru. Kelompok-kelompok politik akan menolak ataupun menerima, sesuai dengan kepentingan masing-masing.

KPK adalah institusi baru. KPK lahir pada 2003 untuk mengguncang dunia hukum Indonesia yang ketika itu tidak mampu membongkar korupsi yang telah berjalan puluhan tahun dan disokong oleh oligarki yang kuat. Terlalu banyak aktor politik yang membentengi upaya pemberantasan korupsi dan terlalu mendalam kerusakan yang terjadi di dalam lembaga-lembaga penegakan hukum sendiri. KPK didesain untuk membongkar tembok-tembok penghalang dan lorong-lorong korupsi kelembagaan ini.

Meski ada arus penolakan pada awal pembentukannya, KPK akhirnya terbentuk dengan wewenang kuat. Wewenang ini memang diperlukan mengingat kondisi parah akibat korupsi, termasuk di lembaga penegakan hukum. Banyak studi yang menelaah, mengapa KPK bisa lahir meski kehadirannya bisa mengancam aktor-aktor politik. Sebagian menunjuk pada tekanan publik, sebagian lagi melihat tekanan internasional sebagai faktor penting. Apa pun alasannya, KPK yang kuat sudah berdiri dan ternyata efektif.

Tak bisa dimungkiri, begitu banyak kasus besar yang melibatkan politisi dan aparat penegak hukum yang tidak akan terungkap jika tidak ada KPK. Kompas (18/2/2015) mencatat, paling tidak ada delapan kasus besar yang ditangani KPK. Mulai dari kasus suap jaksa Urip Tri Gunawan sampai kasus pengadaan alat kesehatan Provinsi Banten. Efektivitas inilah yang membuat gerah banyak aktor politik dan penegak hukum korup.

Skenario besar

Kita perlu membaca kepingan-kepingan cerita yang terjadi selama lebih kurang tujuh minggu ini menjadi sebuah puzzle besar. Bambang Widjojanto ditetapkan sebagai tersangka karena dianggap menyuruh beberapa saksi berbohong di Mahkamah Konstitusi (MK) empat tahun lalu. Padahal, yang dilakukannya adalah peran advokat yang jamak dilakukan untuk memberi tahu saksi yang belum biasa bersidang bagaimana bertindak di dalam sidang yang sangat singkat di MK. Berikutnya, Ketua KPK Abraham Samad tersangkut kasus pemalsuan kartu keluarga, sementara terungkap pula kasus pembukaan rekening dengan dua KTP yang berbeda oleh petinggi kepolisian.

Demikian pula dua komisioner lainnya, Zulkarnaen dan Adnan Pandu Praja, sudah dilaporkan ke kepolisian. Ada juga laporan terhadap pelaksana tugas pimpinan KPK Johan Budi dan komisioner KPK periode lalu, Chandra Hamzah, atas kasus yang sudah diselesaikan pada 2011 oleh Komite Etik KPK. Bareskrim Polri juga membuka kembali kasus ‎yang melibatkan penyidik KPK, Novel Baswedan, yang terjadi pada 2004. Tak berhenti di situ, 21 penyidik KPK juga terancam menjadi tersangka atas kasus kepemilikan senjata api ilegal, karena habisnya masa tugas mereka di kepolisian. Bahkan, orang-orang yang dianggap sekutu KPK, seperti Denny Indrayana, juga telah dilaporkan. Tidak ada seorang pun yang bisa luput dari hukum, tak terkecuali pimpinan ataupun anggota staf KPK. Namun, kita juga mafhum, di tangan orang yang salah hukum bisa digunakan untuk tujuan jahat.

Tentu saja, kepolisian hanya pasif menerima laporan atas kasus-kasus tersebut. Namun, beragam laporan yang dengan sigap ditindaklanjuti tersebut perlu dilihat dalam satu kesatuan dengan bersepakatnya DPR untuk menunda penggantian pimpinan KPK Busyro Muqoddas sampai Desember 2015. Laporan-laporan tersebut juga perlu dilihat bersisian dengan diterimanya gugatan praperadilan atas penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka KPK. Sementara putusan tersebut sudah banyak mendapat kritik dari pakar hukum dan mantan hakim agung.

Layaknya sapuan kuas penutup dalam lukisan besar pembunuhan KPK, DPR ternyata juga memasukkan perubahan undang-undang KPK dalam Program Legislasi Nasional. Dengan berbagai isu yang melingkupi KPK belakangan ini, dapat diduga akan ada upaya-upaya pelemahan mandat KPK. Bukan tak mungkin, KPK nantinya hanya berfokus pada pencegahan. Apabila ini yang terjadi, habislah sudah harapan Indonesia untuk membongkar kasus-kasus korupsi besar.

Kotak pandora

Minggu lalu, Presiden sudah mengambil sikap: BG tak jadi dilantik dan perppu tentang pelaksana tugas pimpinan KPK dikeluarkan. Katanya, terjadi win-win solution. Namun, apa betul semua menang dan kisah ini berakhir bahagia? Mengeluarkan perppu pelaksana tugas pimpinan KPK berarti menerima kejanggalan-kejanggalan proses penyidikan terhadap kasus-kasus di seputar KPK dan mengakui kepatutan suatu proses yang mungkin sebenarnya tak patut.

Solusi yang diambil adalah solusi terbaik untuk elite politik, tetapi tidak bagi orang biasa. Sepanjang skenario besar pelemahan pemberantasan korupsi ini tak dibongkar dan dihentikan, yang menang hanyalah elite karena negara hukum terpuruk. Kita bisa terus-menerus bicara tentang reformasi hukum. Namun, seperti dikatakan Jeffrey Winters, ada persoalan negara hukum "tingkat atas" dan "tingkat bawah". Pada tingkat bawah ada urusan "keseharian" negara hukum: kasus-kasus pencurian, sengketa bisnis kecil, dan lain-lain. Pada tingkat atas, ada kasus-kasus yang kelihatan sederhana, tetapi rumit untuk diselesaikan karena melibatkan oligarki: sekelompok orang yang memegang kekuasaan besar di negara ini, meski mungkin tak tampak dalam struktur kenegaraan.

Tantangan terbesar negara hukum Indonesia adalah memecah tembok oligarki ini. Wacana tentang reformasi hukum bisa diteruskan dengan rencana-rencana aksi nasional pemerintah di bidang hukum. Namun, selama persoalan negara hukum "tingkat atas" tidak diselesaikan, negara hukum akan terus digerogoti.

Ironisnya, frase "negara hukum" kerap digunakan untuk tidak melakukan apa pun karena intervensi proses hukum diharamkan dalam prinsip negara hukum. Padahal, dengan tidak berbuat apa-apa, presiden melemahkan negara hukum dengan membuka ruang bagi penyalahgunaan wewenang. Jika penghancuran gerakan pemberantasan korupsi dibiarkan, Presiden sebenarnya telah membuka "kotak pandora". Aktor-aktor jahat akan merajalela keluar dari kotaknya karena percaya bahwa presiden akan mengabaikan penyalahgunaan kekuasaan.

Publik seakan ditenangkan dengan adanya perppu dan calon Kapolri baru. Angka-angka pertumbuhan ekonomi dan jumlah kapal asing yang telah ditenggelamkan pun dipampangkan untuk menunjukkan keberhasilan pemerintah. Namun, kita tidak memilih antara pertumbuhan ekonomi dan negara hukum. Keduanya harus dijalankan bersamaan. Pertumbuhan ekonomi tanpa fondasi negara hukum sangat rapuh. Sekelompok orang bisa terus-menerus merajalela menguasai sumber ekonomi dan hukum tak mampu berbuat apa-apa.

Belum terlambat bagi Presiden untuk menutup kotak pandora negara hukum ini. Presiden memiliki kekuasaan konstitusional sebagai kepala negara untuk memerintahkan kepolisian untuk membereskan kemelut ini. Ia juga harus bersiap-siap untuk menjaga agar proses perubahan UU KPK dan pemilihan pimpinan KPK yang akan segera dilaksanakan berjalan dengan baik. Jangan sampai KPK dilemahkan melalui UU ataupun oleh pimpinannya sendiri.

Bivitri Susanti
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Tak Lagi Solid, Koalisi Perubahan Kini dalam Bayang-bayang Perpecahan

Tak Lagi Solid, Koalisi Perubahan Kini dalam Bayang-bayang Perpecahan

Nasional
TPN Ganjar-Mahfud Sebut 'Amicus Curiae' Bukan untuk Intervensi MK

TPN Ganjar-Mahfud Sebut "Amicus Curiae" Bukan untuk Intervensi MK

Nasional
Percepat Kinerja Pembangunan Infrastruktur, Menpan-RB Setujui 26.319 Formasi ASN Kementerian PUPR

Percepat Kinerja Pembangunan Infrastruktur, Menpan-RB Setujui 26.319 Formasi ASN Kementerian PUPR

Nasional
Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Kubu Prabowo Siapkan Satgas untuk Cegah Pendukung Gelar Aksi Saat MK Baca Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

TKN Prabowo-Gibran Akan Gelar Nobar Sederhana untuk Pantau Putusan MK

Nasional
Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Jelang Putusan Sengketa Pilpres: MK Bantah Bocoran Putusan, Dapat Karangan Bunga

Nasional
Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Skenario Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Kejagung Terus Telusuri Aset Mewah Harvey Moeis, Jet Pribadi Kini dalam Bidikan

Nasional
Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Yusril Tegaskan Pencalonan Gibran Sah dan Optimistis dengan Putusan MK

Nasional
Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Soal Tawaran Masuk Parpol, Sudirman Said: Belum Ada karena Saya Bukan Anak Presiden

Nasional
Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan 'Amicus Curiae' seperti Megawati

Sudirman Said Beberkan Alasan Tokoh Pengusung Anies Tak Ajukan "Amicus Curiae" seperti Megawati

Nasional
Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah 'Nyapres' Tidak Jadi Gubernur Jabar

Soal Peluang Anies Maju Pilkada DKI, Sudirman Said: Prabowo Kalah "Nyapres" Tidak Jadi Gubernur Jabar

Nasional
Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Beda Sikap PSI: Dulu Tolak Proporsional Tertutup, Kini Harap Berlaku di Pemilu 2029

Nasional
Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Banjir “Amicus Curiae”, Akankah Lahir “Pahlawan” Pengadilan?

Nasional
Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 22 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com