Oleh: Masdar Hilmy
JAKARTA, KOMPAS - Ketaktegasan Presiden Joko Widodo mengambil keputusan tentang siapa yang bakal mengisi jabatan Kepala Polri beberapa waktu lalu sempat mengirimkan sinyalemen bahaya politik patrimonialisme yang mengintainya setiap saat.
Hal ini sekaligus menjadi anomali bagi karakter politik Jokowi yang selama ini dikenal cekatan, lugas, dan tegas dalam mengambil tindakan dan kebijakan politik. Ada kesan Jokowi tidak otonom lagi, tersandera tarikan kepentingan yang dikendalikan oleh figur patron yang cukup berpengaruh terhadapnya.
Awalnya adalah kasus pencalonan Budi Gunawan (BG) yang benar-benar membuat Jokowi "mati gaya". Dalam kasus ini, Jokowi terkesan sedang tak mewakili dirinya sendiri karena dia telah memberikan terlalu banyak ruang bagi pihak lain untuk "bermain" di wilayah yang semestinya menjadi hak prerogatifnya.
Selain itu, kasus ini terbukti memberi efek domino yang cukup dahsyat dalam bentuk "benturan" KPK-Polri. Silang sengkarut perseteruan keduanya niscaya tidak akan terjadi seandainya Jokowi mampu mengatasi jebakan politik patrimonialisme dengan baik.
Politik "sungkanisme"
Jika kebanyakan kasus politik patrimonialisme distimulasi oleh perebutan sumber daya (Tod Jones, 2013:5), pada kasus Jokowi lebih didorong oleh politik "sungkanisme" antara sang klien dan sang patron. Politik sungkanisme lebih banyak mengerangkai kesadaran eksistensial Jokowi sebagai orang Jawa. Politik patrimonialisme semacam ini membuat klien dalam posisi tidak otonom, tidak mandiri, dan terjebak pada pusaran kepentingan yang dapat menenggelamkan independensi sang klien dalam bertindak.
Dalam politik patrimonialisme, sang klien dengan sadar mengimajinasikan posisinya sebagai inferior, tersubordinasi oleh kedigdayaan sang patron yang karismatik. Akibatnya, pola relasi patron-klien berjalan tak berimbang. Bandul pendulum lebih banyak bergerak ke arah sang patron ketimbang sang klien. Pola relasi di antara keduanya bersifat menekan ke arah sang klien, bukan sebaliknya. Pola relasi semacam ini hanya ada dalam tradisi birokrasi tradisional ketimbang birokrasi modern yang mengandaikan tata pemerintahan yang baik, bersih, dan transparan-akuntabel (Crouch, 1978; Mackie & MacIntyre, 1994).
Dalam konteks lembaga keagamaan atau organisasi non-negara, melembaganya pola relasi patrimonialistik mungkin tidak menimbulkan banyak persoalan. Namun, jika politik patrimonialisme bekerja dan bertransmutasi ke lembaga publik, yang terancam bukan eksistensi sang patron atau klien secara pribadi, melainkan kepentingan seluruh bangsa. Hal ini karena distribusi kepentingan publik dapat tersendat akibat pembelokan kepentingan oleh sang patron ke pihak-pihak tertentu yang dikehendaki.
Pada awalnya, pengaspirasian kepentingan tertentu oleh sang patron kepada klien mungkin tak dimaksudkan bentuk intervensi. Bisa saja aspirasi tersebut dimaksudkan second opinion yang tidak memiliki dampak koersif. Namun, akibat pola relasi yang tak berimbang tersebut, sang patron tidak memiliki kapasitas intrinsik untuk mengatasi tekanan psikologis dengan mengatakan "tidak" kepada sang patron. Akibatnya, sang klien mendadak kehilangan kemerdekaannya menjadi diri sendiri. Jika aspirasi dimaksud tak terpenuhi, yang muncul adalah perasaan tak nyaman yang begitu menyiksa dan menghantui sang klien.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.