Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Politik dan Keputusan Politik

Kompas.com - 23/02/2015, 15:09 WIB


Oleh: Ignas Kleden

JAKARTA, KOMPAS - Pada Rabu (18/2/2015) siang, tepat sehari sebelum tahun baru Imlek 2566, Presiden Joko Widodo mengumumkan keputusannya tentang kontroversi mengenai KPK dan persoalan Kepala Polri yang sudah menggantung selama sebulan lebih.

Keputusan Presiden itu sudah diketahui oleh publik saat ini. Peristiwa ini dapat dijadikan kesempatan untuk meninjau kedudukan dan watak suatu keputusan politik oleh eksekutif tertinggi serta dampaknya bagi pemerintah dan masyarakat.

Dalam retrospeksi masih bisa diingat bahwa salah satu alasan menunda keputusan yang baru-baru ini diumumkan ialah bertumpuknya masalah yang harus diurai satu per satu, yaitu masalah hukum, masalah politik, dan perubahan APBN. Alasan Presiden itu hendaknya diterima sebagai alasan politik, yang kebenarannya sebaiknya diterima sebagai kebenaran politik, dalam kadar yang ditentukan oleh risiko politik dan kemungkinan-kemungkinan dalam dinamika politik serta efeknya terhadap para pendukung kebijakan presiden dan para lawan politik.

Bahan pembelajaran

Hal yang dapat menjadi bahan pembelajaran bagi semua anggota komunitas politik ialah pertanyaan mengenai bagaimana seorang pemimpin menyusun prioritas dalam pengambilan keputusan, apakah ada kriteria dalam menentukan prioritas, dan adakah sifat khusus tiap keputusan politik yang dibuat. Ambillah tiga contoh yang telah disebut presiden, yaitu masalah politik, masalah hukum, dan perubahan anggaran belanja negara.

Kita tahu masalah anggaran belanja negara mencakup kepentingan sangat luas karena langsung berhubungan dengan berfungsinya pemerintahan dan akibatnya pada kehidupan seluruh rakyat. Di samping itu, keputusan mengenai anggaran tak dapat dibuat secara sepihak oleh Presiden, tetapi perlu persetujuan DPR. Dibutuhkan waktu untuk pembicaraan dan konsultasi antara eksekutif dan legislatif. Konsultasi ini dilakukan agar dana yang tersedia dapat dialokasikan secara tepat sasaran. Sifat tepat sasaran ini amat perlu karena anggaran yang terbatas harus membiayai kebutuhan yang seakan tak terbatas sehingga penggunaan anggaran harus bersifat cost-effective.

Kalau masalah anggaran menuntut keputusan yang tepat sasaran, maka masalah politik sering kali meminta keputusan yang tepat waktu. Dalam bisnis berlaku semboyan ”waktu adalah uang”, tetapi kenyataan politik menunjukkan ”waktu adalah perubahan”. Suatu masalah politik yang tak dibereskan pada waktunya dapat mengundang masalah lain, yang mungkin lebih besar dan lebih rumit daripada masalah semula. Di samping itu, karena waktu adalah perubahan, sebuah masalah politik yang tertunda diputuskan dapat berubah sifat menjadi masalah lain yang lebih kompleks.

Sebagai contoh soal masalah yang dihadapi Komisaris Jenderal Budi Gunawan (BG) adalah status hukum seorang individu yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, setelah yang bersangkutan diusulkan sebagai Kepala Polri oleh Presiden Jokowi ke DPR. Tertunda-tundanya penetapan Kepala Polri telah mengubah sifat masalah yang semula hanya menyangkut seorang individu menjadi ketegangan dan konflik di antara dua lembaga negara. Masalah yang semula bersifat individual berubah sifat menjadi konflik antar-institusi, yang membawa serta langkah-langkah dari pihak polisi yang dianggap mengakibatkan kriminalisasi terhadap KPK.

Pada tahapan sekarang, masalahnya jadi jauh lebih besar daripada masalah semula. Seandainya keputusan mengenai Kepala Polri dibuat lebih awal oleh Presiden, maka masalah-masalah susulan yang mempersulit kerja KPK dapat dihindari atau diperkecil dampaknya. Kita dapat bersyukur bahwa Presiden Jokowi akhirnya membuat keputusan yang amat dinanti-nantikan itu pada 18 Februari 2015, tetapi sekarang dibutuhkan lebih banyak usaha dan kesabaran untuk menciptakan rekonsiliasi politik antarlembaga, dengan tidak mengorbankan lingkup wewenang dan tanggung jawab tiap-tiap pihak. Terlihat di sini bahwa masalah politik, dalam banyak kasus, membutuhkan keputusan yang bersifat time-effective.

Masalah hukum, seperti yang selalu kita dengar, berhubungan dengan dasar atau alasan yang dapat membenarkan suatu tindakan. Pertanyaan para ahli hukum: apa dasar hukumnya? Setiap tindakan dalam politik tak cukup dibenarkan kalau hanya punya tujuan yang baik, tetapi harus memiliki suatu dasar dalam UU yang membenarkan tindakan tersebut. Dalam konteks hukum, tindakan yang benar merupakan pelaksanaan UU dan tindakan yang salah melanggar UU, sementara tindakan yang tak jelas dasar hukumnya dapat dipersoalkan. Kalau masalah politik menuntut keputusan yang tepat waktu, maka masalah hukum menuntut keputusan yang tepat dasarnya.

Dengan demikian, perdebatan para ahli hukum akan berputar sekitar dua soal utama, yaitu ada tidaknya dalil dalam UU yang dijadikan dasar dalam membenarkan suatu tindakan, dan apakah tafsir mengenai kutipan dari pasal UU itu dapat dipertanggungjawabkan. Sebagai contoh yang masih aktual, perbedaan tafsir itu berhubungan dengan soal bagaimana mengartikan keadaan kekosongan hukum yang diakibatkan oleh belum adanya UU yang mengatur suatu tindakan. Hakim Sarpin yang memimpin praperadilan kasus BG berpendapat bahwa ada kekosongan hukum dalam status tersangka BG karena KUHAP tidak mengatur status tersangka. Dengan anggapan bahwa seorang hakim tidak boleh menolak perkara meskipun belum ada hukum yang mengaturnya, hakim Sarpin berpendapat dirinya dapat memutuskan soal status tersangka ini dalam sidang praperadilan dengan menggali keadilan dalam masyarakat.

Di pihak lain, ahli hukum tata negara Refly Harun menunjuk dengan jelas bahwa tidak ada kekosongan hukum seperti yang didalilkan hakim Sarpin. Sebab, KUHAP secara eksplisit menyebutkan masalah apa saja yang dapat dibawa ke praperadilan, yaitu 1) sah tidaknya penangkapan atau penahanan; 2) sah tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan; dan 3) ganti rugi dan rehabilitasi yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan. Apa yang dilakukan hakim Sarpin bukanlah mengisi kekosongan hukum, melainkan memperluas wewenangnya sebagai hakim praperadilan melampaui wewenang yang diatur dalam KUHAP (Kompas, 17 Februari 2015).

Perdebatan seperti ini akan selalu berulang di antara para ahli hukum karena hukum—sebagaimana didefinisikan oleh para ahli filsafat hukum dan politik—merupakan suatu instansi yang melakukan mediasi sosial di antara fakta dan norma, di antara faktisitas dan validitas. Akan selalu ada silang pendapat tentang apa itu fakta dan ada tidaknya fakta tersebut serta bagaimana suatu norma dihubungkan dengan fakta termaksud.

Dalam teori wacana tentang hukum dan negara hukum, norma yang didalilkan itu, untuk mencapai validitasnya, harus memenuhi syarat yang dituntut dari empat dimensi. Pertama, hubungan dalil dengan bahasa (suatu dalil harus diungkapkan dalam rumusan yang memenuhi syarat kebahasaan yang benar sehingga memungkinkan pengertian yang dapat dipegang bersama oleh pihak yang berdebat). Kedua, hubungan dalil itu dengan kenyataan obyektif (dan bukan dengan kenyataan subyektif atau kenyataan fiktif). Ketiga, hubungan dalil dengan orang yang mengucapkannya (dalil harus menyatakan apa yang dimaksudkan oleh yang mengucapkannya dan bukannya menyembunyikan apa yang dipikirkannya). Keempat, hubungan dalil dengan norma-norma kemasyarakatan (dalil tak boleh bertentangan dengan norma yang diterima masyarakat) (Lihat: Juergen Habermas, Faktizitaet und Geltung, 1992, atau edisi bahasa Inggris Between Facts and Norms, 1996). Dalam praperadilan tentang kasus BG, hakim Sarpin ternyata telah salah mengartikan bahasa dalil dalam KUHAP tentang praperadilan.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Yusril Akui Sebut Putusan 90 Problematik dan Cacat Hukum, tapi Pencalonan Gibran Tetap Sah

Yusril Akui Sebut Putusan 90 Problematik dan Cacat Hukum, tapi Pencalonan Gibran Tetap Sah

Nasional
Bukan Peserta Pilpres, Megawati Dinilai Berhak Kirim 'Amicus Curiae' ke MK

Bukan Peserta Pilpres, Megawati Dinilai Berhak Kirim "Amicus Curiae" ke MK

Nasional
Perwakilan Ulama Madura dan Jatim Kirim 'Amicus Curiae' ke MK

Perwakilan Ulama Madura dan Jatim Kirim "Amicus Curiae" ke MK

Nasional
PPP Tak Lolos ke DPR karena Salah Arah Saat Dukung Ganjar?

PPP Tak Lolos ke DPR karena Salah Arah Saat Dukung Ganjar?

Nasional
Kubu Prabowo Sebut 'Amicus Curiae' Megawati soal Kecurangan TSM Pilpres Sudah Terbantahkan

Kubu Prabowo Sebut "Amicus Curiae" Megawati soal Kecurangan TSM Pilpres Sudah Terbantahkan

Nasional
BMKG Minta Otoritas Penerbangan Waspada Dampak Erupsi Gunung Ruang

BMKG Minta Otoritas Penerbangan Waspada Dampak Erupsi Gunung Ruang

Nasional
Demokrat Tak Resisten jika Prabowo Ajak Parpol di Luar Koalisi Gabung Pemerintahan ke Depan

Demokrat Tak Resisten jika Prabowo Ajak Parpol di Luar Koalisi Gabung Pemerintahan ke Depan

Nasional
Kubu Prabowo-Gibran Yakin Gugatan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud Ditolak MK

Kubu Prabowo-Gibran Yakin Gugatan Anies-Muhaimin dan Ganjar-Mahfud Ditolak MK

Nasional
Aktivis Barikade 98 Ajukan 'Amicus Curiae', Minta MK Putuskan Pemilu Ulang

Aktivis Barikade 98 Ajukan "Amicus Curiae", Minta MK Putuskan Pemilu Ulang

Nasional
Kepala Daerah Mutasi Pejabat Jelang Pilkada 2024 Bisa Dipenjara dan Denda

Kepala Daerah Mutasi Pejabat Jelang Pilkada 2024 Bisa Dipenjara dan Denda

Nasional
KPK Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

KPK Panggil Bupati Sidoarjo Gus Muhdlor sebagai Tersangka Hari Ini

Nasional
Daftar 33 Pengajuan Amicus Curiae Sengketa Pilpres 2024 di MK

Daftar 33 Pengajuan Amicus Curiae Sengketa Pilpres 2024 di MK

Nasional
Apa Gunanya 'Perang Amicus Curiae' di MK?

Apa Gunanya "Perang Amicus Curiae" di MK?

Nasional
Dampak Erupsi Gunung Ruang: Bandara Ditutup, Jaringan Komunikasi Lumpuh

Dampak Erupsi Gunung Ruang: Bandara Ditutup, Jaringan Komunikasi Lumpuh

Nasional
Megawati Lebih Pilih Rekonsiliasi dengan Jokowi atau Prabowo? Ini Kata PDI-P

Megawati Lebih Pilih Rekonsiliasi dengan Jokowi atau Prabowo? Ini Kata PDI-P

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com