JAKARTA, KOMPAS.com - Tim Independen untuk penanganan perselisihan Korupsi Pemberantasan Korupsi dan Kepolisan memberikan sejumlah rekomendasi kepada Presiden Joko Widodo. Ada sejumlah rekomendasi yang diberikan, namun Tim Independen menegaskan rekomendasi yang pernah diberikannya, yaitu agar presiden tidak melantik Komjen Budi Gunawan menjadi Kepala Kepolisian RI.
"Tim Konsultatif Independen tetap pada rekomendasi agar Presiden tidak melantik Komjen Pol Budi Gunawan sebagai Kapolri," kata Ketua Tim Independen Syafii Maarif di Kantor Maarif Institute, Jakarta, Selasa (17/2/2015).
Tim Independen, kata Syafii, mengetahui kalau putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyebut bahwa penetapan tersangka yang dilakukan KPK terhadap Budi Gunawan tidak sah. Tapi Tim Independen berpendapat bahwa putusan praperadilan tidak serta-merta menjadikan Budi Gunawan bebas dari sangkaan kasus korupsi.
"Meski beliau telah dihapuskan status tersangka dalam Putusan praperadilan mengingat putusan praperadilan tidak terkait dengan substansi sangkaan," kata Syafii Maarif.
Syafii Maarif pernah mengungkap fakta mengejutkan tentang pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri. Saat itu, mantan Ketua PP Muhammadiyah itu mengatakan Jokowi tidak pernah mengajukan inisiatif nama Budi Gunawan sebagai Kapolri. (Baca: Ketua Tim Independen: Pencalonan Budi Gunawan Bukan Inisiatif Jokowi)
"Jujur, itu sebetulnya pengajuan BG bukan inisiatif Presiden," kata Syafii seusai bertemu Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan, Rabu (28/1/2015).
Selain itu, Syafii Maarif juga menguraikan pendapatnya tentang proses praperadilan yang dimenangkan Budi Gunawan. Menurutnya, keputusan hakim Sarpin Rizadi yang membatalkan penetapan tersangka Budi Gunawan merusak tatanan dan struktur hukum di Indonesia.
Buya menduga, hakim tidak mempertimbangkan keberadaan Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebelum mengambil keputusan. Sehingga, hakim Sarpin mengabulkan permohonan praperadilan Budi Gunawan. (Baca: Syafii Maarif: Putusan Praperadilan Budi Gunawan Rusak Struktur Hukum)
"KUHAP Pasal 77 itu ditafsirkan, saya bukan ahli hukum ya, tapi itu ditafsirkan seenaknya saja," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.