Namun, banyak tanda tanya yang tersisa pasca-putusan itu dibacakan. Kritik pun dilayangkan terhadap pertimbangan Hakim Sarpin dalam memutus perkara tersebut.
Perdebatan obyek praperadilan
Dalam putusannya, Sarpin menyatakan, permohonan praperadilan yang diajukan Budi termasuk dalam obyek praperadilan. Dengan demikian, pengadilan berhak memeriksa sah atau tidaknya penetapan tersangka Budi oleh KPK. Namun, pandangan ini menuai kritik.
Mantan Ketua Mahkamah Agung (MA), Harifin Tumpa, menilai, hakim sudah secara sepihak menyatakan penetapan tersangka sebagai obyek praperadilan. Ia menyebutkan, Pasal 77 dan Pasal 95 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) secara jelas menyebutkan bahwa penetapan tersangka bukan obyek praperadilan. (Baca: Mantan Ketua MA: Tidak Benar Masukkan Penetapan Tersangka Jadi Obyek Praperadilan)
"Hakim sudah memperluas kewenangan praperadilan. Dia menyatakan, karena (penetapan tersangka) tidak diatur dalam KUHAP, maka hakim boleh memasukkannya. Itu tidak benar," kata Harifin saat dihubungi, Senin (16/2/2015).
Harifin menjelaskan, praperadilan diatur dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Menurut pasal tersebut, hanya ada enam hal dalam sebuah proses hukum yang dapat diajukan dalam praperadilan, yaitu sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penyidikan, dan penuntutan; mekanisme mengenai permintaan ganti rugi; serta rehabilitasi nama baik.
Ia melanjutkan, pada Pasal 95 KUHAP, memang diatur adanya tindakan lain yang bisa juga diajukan ke praperadilan. Namun, sudah disebutkan di sana bahwa tindakan lain tersebut berupa penggeledahan dan penyitaan.
"Jadi, hanya itu yang menjadi kewenangan dan obyek praperadilan. (Penetapan) tersangka tidak termasuk," kata dia.
Kuasa hukum KPK, Chatarina Mulia Girsang, mengatakan, pertimbangan hakim pada poin ini bisa merusak tatanan hukum di Indonesia. Jika demikian, semua koruptor dan penjahat di Indonesia dapat mengajukan praperadilan dan mungkin saja dimenangkan.
Hakim Sarpin "masuk angin"
Yang menjadi sorotan kedua, hakim berpendapat, jabatan kepala biro pembinaan karier (karobinkar) adalah golongan eselon II A, bukan eselon II. Oleh sebab itu, jabatan tersebut tidak termasuk penyelenggara negara. Selain itu, hakim juga berpendapat bahwa jabatan itu bukan bagian dari penegak hukum karena hanya administratif.
Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada, Hifdzil Alim, menilai, Hakim Sarpin "masuk angin" karena menganggap Budi bukan bagian dari penyelenggara negara dan penegak hukum. Menurut Hifdzil, pengertian aparat penegak hukum itu melekat pada institusi Budi Gunawan. Siapa pun yang masuk ke lembaga Polri adalah aparat penegak hukum. Bahkan, untuk lembaga-lembaga lain yang tidak disebut dalam criminal justice system, seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) juga disebut penegak hukum. Hal itu sudah lama diyakini.
Dia mengatakan, tidak ada ahli yang menyangkal bahwa polisi adalah penegak hukum. Jika yang melakukan penyelidikan pada kepolisian hanya reskrimum dan reskrimsus, bukan berarti polisi lalu lintas dan intel bukan penegak hukum.
"Contoh konyolnya, misalnya ada razia di jalan, lalu polantas menghentikan orang karena melanggar. Orang yang dihentikan bisa melawan karena polantas bukanlah penegak hukum," kata dia saat dihubungi, Senin siang.