JAKARTA, KOMPAS.com — Hari ini, Senin (2/2/2015), akan menjadi saat-saat yang menentukan dalam karier Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Setelah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan suap dan gratifikasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, Budi Gunawan berusaha melawan. Melalui kuasa hukumnya, Kepala Lembaga Pendidikan Polri ini mengajukan praperadilan, yang akan dilaksanakan hari ini, mulai pukul 09.00.
Pihak kuasa hukumnya mengajukan praperadilan karena mempermasalahkan proses penetapan tersangka yang dilakukan KPK. Penetapan tersangka itu dianggap janggal. Terlebih lagi, penetapannya dilakukan oleh KPK sehari sebelum proses uji kelayakan terhadap Budi sebagai calon kepala Polri berlangsung di DPR.
Kuasa hukum Budi Gunawan, Frederich Yunadi, yakin kliennya akan menang dalam gugatan praperadilan. Frederich mengaku sudah menyiapkan kejutan bagi KPK dan akan membongkar kebobrokan di lembaga antikorupsi tersebut. (Baca: Di Sidang Praperadilan Budi Gunawan, Polri Akan Ungkap Borok KPK)
"Saya akan lakukan surprise luar biasa. Di antaranya, ada penyidik ungkap cara kerja bagaimana dia didikte, silakan menanti, akan kita ungkap itu," ucap Frederich di Jakarta, Sabtu (31/1/2015).
"Jurus mabuk"
Namun, menurut pakar hukum tata negara, Denny Indrayana, praperadilan yang ditempuh Budi Gunawan dianggap keliru dan tidak memiliki dasar hukum. Denny menjelaskan, dalam Pasal 77 KUHAP tentang Praperadilan menyebutkan, "praperadilan adalah langkah pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, dan penghentian penuntutan".
Selain itu, praperadilan juga ditempuh jika proses hukum mengakibatkan ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
"Dasar hukum yang diajukan Budi Gunawan untuk mengajukan praperadilan tidak ada, seperti jurus pendekar mabuk," ujar Denny.
Namun, Denny menilai, Presiden Joko Widodo terjerat dengan "jurus pendekar mabuk" tersebut. Sebab, selama ini, Jokowi memang terkesan "menggantung" pencalonan Budi Gunawan hingga ada keputusan hukum yang jelas, salah satunya adalah praperadilan yang dilakukan Budi Gunawan. Karena itu, Jokowi belum juga melantik Budi Gunawan walaupun sudah mendapat persetujuan DPR.
Mengenai pencalonan Budi Gunawan, Denny Indrayana pun meminta Presiden untuk secara tegas membatalkannya. Menunda pelantikan, sebut Denny, sama saja seperti menggantungkan inti persoalan.
"Pengangkatan dan pemberhentian kepala Polri adalah kewenangan Presiden. Itu bermakna, pengusulan atau pembatalan usulan juga kewenangan Presiden," ucap mantan Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia itu.
Denny dengan yakin juga mengatakan, gugatan praperadilan Budi Gunawan akan sulit diterima pengadilan. "Sudah jelas penetapan tersangka bukan obyek praperadilan, jadi tidak bisa dipraperadilankan," ujar Denny saat dihubungi, Jumat (30/1/2015) malam.
Kalaupun gugatan itu dimenangkan oleh hakim, kata Denny, hasilnya kemungkinan akan diajukan ke kasasi. Proses ini membutuhkan waktu kira-kira tiga bulan hingga putusan di Mahkamah Agung keluar atau paling cepat pada 27 April. (Baca: Praperadilan Sulit Dikabulkan, Jokowi Diminta Batalkan Pelantikan Budi Gunawan)
Opsi lain Istana
Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto mengungkap, saat ini sudah ada wacana penggantian Budi Gunawan sebagai calon kepala Polri meski praperadilan belum berjalan. Menurut Andi, wacana penggantian calon kepala Polri telah disampaikan oleh Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) kepada Presiden Joko Widodo. (Baca: Di Istana, Muncul Wacana Penggantian Budi Gunawan sebagai Calon Kapolri)