Elite politik vs kekuatan rakyat
Terlihat di sini tegangan antara politik yang dijalankan elite politik dan politik yang digerakkan oleh kekuatan rakyat dalam masyarakat sipil, yang telah memainkan peranan yang menentukan dalam kemenangan Jokowi sebagai capres. Kesulitan yang dihadapi masyarakat sipil ialah kemampuan mereka dalam mendukung atau menggagalkan perebutan kekuasaan atau machtsvorming menurut istilah Bung Karno, belum diimbangi dengan kemampuan mereka dalam membantu penggunaan kekuasaan secara lebih baik oleh pemegang kekuasaan.
Proses-proses politik intra-parlementer hampir tak ada hubungannya dengan proses-proses ekstra-parlementer, kecuali dalam bentuk parlemen jalanan kalau ada krisis politik. Perlu dicari jalan agar suara dan aspirasi masyarakat sipil dapat diakomodasi sebagai input dalam perdebatan di DPR, misalnya melalui usul perbaikan rencana UU atau usul perbaikan alokasi anggaran pada tingkat nasional dan tingkat daerah sehingga fungsi representasi DPR semakin diperkuat oleh partisipasi aktif dan efektif oleh kelompok masyarakat sipil. Dirumuskan dalam bentuk ekstrem, suatu politik intra-parlementer tanpa persinggungan dengan masyarakat sipil hanya menghasilkan isolasionisme kelembagaan yang akan membuat mandul fungsi representasi DPR. Sebaliknya, aktivisme kelompok-kelompok masyarakat sipil yang tak punya titik-temu dengan proses-proses intra-parlementer akan menghasilkan kesibukan dan sport politik yang tak ada efeknya terhadap penguatan partisipasi politik.
Ketegangan-ketegangan itu di atas yang menimbulkan konflik politik merupakan terjemahan dari tegangan antara prosedur politik dan substansi politik. Menekankan pentingnya keadilan, pemerintahan yang bersih atau keamanan dan integrasi politik, tanpa mengindahkan prosedur yang demokratis dalam mencapainya dapat membawa kita ke sikap otoriter. Sebaliknya, menekankan pentingnya prosedur tanpa memperhatikan substansi akan menghasilkan oportunisme politik yang selalu terjebak dalam capaian-capaian jangka pendek yang semata-mata pragmatis sifatnya. Risiko yang satu adalah tujuan menghalalkan cara, risiko yang lain adalah cara menghalalkan tujuan. Demokrasi memang sulit karena tujuan yang benar harus dicapai dengan cara yang benar.
Ignas Kleden
Sosiolog; Ketua Badan Pengurus Komunitas Indonesia untuk Demokrasi (KID)