Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Terkait Budi Gunawan, Data yang Digunakan Jokowi Berbeda dengan Data PPATK

Kompas.com - 16/01/2015, 08:24 WIB
Laksono Hari Wiwoho

Penulis


JAKARTA, KOMPAS.com — Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Muhammad Yusuf mengatakan, ada perbedaan referensi data yang digunakan oleh Presiden Joko Widodo sebelum menunjuk Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon kepala Polri.

Data laporan hasil analisis terkait rekening Budi Gunawan yang diberikan oleh Komisi Kepolisian Nasional kepada Jokowi tidak sama dengan data yang dihimpun PPATK. Data PPATK digunakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi untuk menjerat Budi sebagai tersangka.

Dalam pertemuan dengan Redaksi Kompas, Kamis (15/1/2015), Yusuf mengatakan, data yang dimiliki Kompolnas menyatakan bahwa berdasarkan hasil penyelidikan Polri pada 2010, Budi tidak memiliki masalah transaksi keuangan. Sebelum penyelidikan itu, PPATK telah menyerahkan laporan hasil analisis (LHA) pada Maret 2010 kepada Polri atas harta dan kekayaan Budi. (Baca: Kini, Terserah Jokowi...)

Yusuf mengatakan, ada pertanyaan tersisa di benaknya terkait isi surat Polri pada Mei 2010, yang menyatakan Budi bersih dari dugaan rekening gendut tersebut. Hal ini karena sebelumnya PPATK menemukan ada dugaan transaksi tak wajar senilai 5,7 juta dollar AS yang melibatkan Budi.

Menurut Yusuf, setidaknya ada tiga pertanyaan terkait transaksi itu. Pertama, jika uang itu merupakan pinjaman dari pihak swasta di luar negeri, mengapa diberikan dalam bentuk rupiah. Kedua, pinjaman yang disebut untuk bisnis perhotelan itu diberikan tanpa agunan untuk anak Budi yang bernama Muhammad Herviano Widyatama, yang saat itu berusia 19 tahun. (Baca: Istana Minta Relawan Pahami Posisi Sulit Presiden Jokowi)

"Pertanyaan ketiga, mengapa pinjaman yang begitu banyak itu diberikan dalam bentuk tunai," tambahnya.

Ketika itu, PPATK tak bisa menindaklanjuti pertanyaan-pertanyaan kritis tersebut karena lembaga itu hanya berwenang melaporkan transaksi mencurigakan kepada penegak hukum.

Lebih dari 70 halaman

Waktu pun berlalu. Pada Juli 2014, KPK mengirimkan surat kepada PPATK berisi permintaan kepada PPATK menelusuri kembali rekening Budi. Dasar KPK melakukan permintaan itu adalah adanya pengaduan masyarakat. (Baca: KPK: Penyelidikan Kasus Budi Gunawan Dilakukan sejak Juli 2014).

Surat itu dibalas PPATK pada 11 Agustus 2014.

"Balasan itu setebal lebih dari 70 halaman. Sementara itu, surat yang dikirimkan PPATK kepada Polri pada 2010 sekitar 10 halaman. Dari data itu dan tentunya sumber lain, KPK menetapkan Budi sebagai tersangka," ujarnya seperti dikutip Kompas.

Yusuf meyakini, langkah KPK menetapkan Budi sebagai tersangka, antara lain, berdasarkan laporan hasil analisis yang dikirimkan PPATK pada Agustus 2014. Sementara itu, penjelasan Kompolnas kepada Presiden Jokowi bahwa Budi tidak memiliki transaksi mencurigakan berdasarkan surat berkop Bareskrim Polri tertanggal 20 Oktober 2010.

"LHA 2010 dan 2014 tidak sama. Pijakan referensinya tidak sama," kata Yusuf.

Yusuf menyatakan, PPATK bertemu langsung dengan Presiden saat akan membentuk kabinet pada Oktober 2014.

"Saya sampaikan kepada Presiden bahwa yang bersangkutan (Budi Gunawan) kami beri simbol merah (dimohon tidak dipilih)," ujarnya.

PPATK, lanjut Yusuf, dulu juga diundang Komisi III DPR sesaat sebelum komisi itu melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap Sutarman dan Timur Pradopo sebagai calon kepala Polri. Hal serupa dahulu dilakukan Kompolnas. Namun, hal itu tidak lagi dilakukan Komisi III dan Kompolnas dalam hal pencalonan Budi Gunawan.

Kendali kini sepenuhnya di tangan Presiden. Konsep Nawa Cita yang salah satunya berupa tekad mereformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat, dan tepercaya harus terwujud, salah satunya dalam penunjukan Kepala Polri, butuh pembuktian.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Bersikukuh Rampas Aset Rafael Alun, Jaksa KPK Ajukan Kasasi ke Mahkamah Agung

Bersikukuh Rampas Aset Rafael Alun, Jaksa KPK Ajukan Kasasi ke Mahkamah Agung

Nasional
Pengamat Sebut Kemungkinan Prabowo Gandeng PDI-P Masih Terbuka, Ganjalannya Hanya Jokowi

Pengamat Sebut Kemungkinan Prabowo Gandeng PDI-P Masih Terbuka, Ganjalannya Hanya Jokowi

Nasional
Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

Obituari Tumbu Saraswati, Politikus Senior PDI-P Sekaligus Pendiri TPDI

Nasional
Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

Wakil Ketua KPK Bantah Serang Balik Dewas dengan Laporkan Albertina Ho

Nasional
Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nurul Ghufron Gugat Dewas KPK ke PTUN Jakarta

Nasional
JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

JK Puji Prabowo Mau Rangkul Banyak Pihak, tapi Ingatkan Harus Ada Oposisi

Nasional
Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Mantan Anak Buah SYL Mengaku Dipecat Lantaran Tolak Bayar Kartu Kredit Pakai Dana Kementan

Nasional
Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Beri Selamat ke Prabowo-Gibran, JK: Kita Terima Kenyataan yang Ada

Nasional
DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

DPR Bakal Kaji Ulang Desain Pemilu Serentak karena Dianggap Tak Efisien

Nasional
Komisi II Sebut 'Presidential Threshold' Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Komisi II Sebut "Presidential Threshold" Jadi Target Rencana Revisi UU Pemilu

Nasional
Nyanyi 'Pertemuan' di Depan Titiek Soeharto, Prabowo: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Nyanyi "Pertemuan" di Depan Titiek Soeharto, Prabowo: Sudah Presiden Terpilih, Harus Tepuk Tangan walau Suara Jelek

Nasional
Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Fraksi Golkar Bakal Dalami Usulan Hakim MK soal RUU Pemilu dan Pembentukan UU Lembaga Kepresidenan

Nasional
Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

Politikus Senior PDI-P Tumbu Saraswati Meninggal Dunia, Penghormatan Terakhir di Sekolah Partai

Nasional
Bubar Jalan dan Merapat ke Prabowo, Koalisi Perubahan Dinilai Hanya Jual Gimik Narasi Kritis

Bubar Jalan dan Merapat ke Prabowo, Koalisi Perubahan Dinilai Hanya Jual Gimik Narasi Kritis

Nasional
Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, PPP: Tak Ada Lagi Koalisi 01 dan 03

Ucapkan Selamat ke Prabowo-Gibran, PPP: Tak Ada Lagi Koalisi 01 dan 03

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com