JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo menolak memberikan grasi kepada terpidana hukuman mati untuk kejahatan berat. Sikap Jokowi ini kemudian mendapat apresiasi Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Said Aqil Siradj.
"Saya mendukung apa yang dilakukan Pak Jokowi," ujar Kiai Said dalam rilis yang diterima Tribunnews.com di Jakarta, Selasa (9/12/2014). Ia mendukung pelaku kejahatan berat sudah selayaknya dihukum mati, seperti pengedar narkoba.
Kiai Said menambahkan, sudah seharusnya Pemerintah mengambil sikap tegas untuk pelaku kejahatan berat seperti pengedar narkoba. Ia mendasarkan ucapannya sesuai firman Allah dalam Alquran.
"Barang siapa melakukan kejahatan yang mengakibatkan rusaknya peradaban manusia, menghancurkan Indonesia, hukumannya adalah dibunuh, disalib, dipotong dua tangan dan kakinya, atau diasingkan," jelas pria yang akrab disapa Kang Said.
Profesor bidang tasawuf ini menjelaskan, tingkatan manusia karena kejahatannya juga diatur dalam Islam, tepatnya dalam ilmu fikih. Seperti tertuang dalam kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam Al Ghozali yang mengkategorikan manusia dalam empat tingkatan.
Pertama adalah ‘Ashin, yaitu pelaku kejahatan karena pengaruh atau ajakan orang lain, yang karena kejahatannya dihukum peringatan. Kedua adalah Murtakib, yaitu pelaku kejahatan yang meski sudah mendapatkan peringatan kembali melakukannya di lain waktu dan layak diperingatkan secara tegas.
Sedangkan tingkatan manusia ketiga adalah Fasiq, yang karena kejahatannya layak mendapatkan hukuman. “Dan keempat adalah Syirrir. Yang masuk kategori ini seperti pengedar narkoba, bandar, bahkan pemilik pabriknya. Ini harus dihukum seberat-beratnya,” tegas Kang Said.
Disinggung adanya tudingan pelanggaran HAM terhadap pemberlakuan hukuman mati, Kang Said membantahnya. Menurutnya, kematian pengguna narkoba juga harus dilihat sebagai pelanggaran HAM oleh pengedar, bandar, dan pemilik pabrik obat-obatan terlarang.
"Mereka (pengedar, bandar, dan pemilik pabrik narkoba) sudah terlebih dahulu melanggar HAM, dan tidak ada yang memprotesnya,” ucapnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.