Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menjadi Pejabat

Kompas.com - 09/12/2014, 14:56 WIB


KOMPAS.com
- Menarik mencermati pemikiran Bupati Boyolali Seno Samodro. Dalam obrolan kami sambil menikmati jajanan tradisional di sela-sela gerimis, Jumat (5/12/2014) sore, dia mengatakan bahwa jabatan bupati, wali kota, gubernur, dan presiden sebaiknya satu periode saja. Ibarat membangun masjid atau katedral, mereka cukup meletakkan satu batu bata. Biar pemimpin berikutnya yang melanjutkan.

Gagasan itu tentu bertentangan dengan logika umum yang menginginkan masa jabatan kepala daerah dan presiden dua periode agar terjadi kesinambungan dalam implementasi kebijakan. Bagi Seno Samodro, siapa pun yang mendapatkan kesempatan itu kecenderungannya hanya akan menikmati kebun mawar kekuasaan pada periode kedua. Kinerjanya pasti melemah.

Selain itu, untuk persiapan kontestasi pada periode kedua, mereka juga memerlukan dana kampanye. Apabila dana cekak, perilaku koruptif kemungkinan besar akan terjadi. Situasi akan lebih buruk apabila petahana juga berkehendak mengembalikan biaya politik yang sudah dikeluarkan pada masa kampanye periode pertama. Pendeknya, menata Republik akan lebih mudah apabila jabatan politik dipanggul satu kali saja. Ini akan memupus patronase akut.

Dalam perspektif budaya politik, pemikiran itu bisa dibenarkan. Secara kesejarahan, bangsa Indonesia dibangun dari kultur kerajaan yang memandang kekuasaan bersifat tunggal dan tidak terbagi, jika tidak boleh disebut absolut. Siapa pun yang berada dalam lingkaran kekuasaan mendapatkan kehormatan dan hak-hak istimewa.

Dalam derajat tertentu, perpecahan Partai Golkar juga merupakan bagian dari upaya untuk mempertahankan kekuasaan yang bersifat tunggal dan pemenuhan hak-hak istimewa itu. Dengan istilah lain, Aburizal Bakrie menghendaki dua kali kepemimpinan. Untuk itu, dia telah membangun patronase guna mengamankan kepentingannya.

Tidak mengherankan apabila dia berkemampuan menggerakkan pendukungnya untuk menyelenggarakan Musyawarah Nasional IX di Nusa Dua, Bali, dan dipilih secara aklamasi. Ia juga memecat para politisi Golkar yang tergabung dalam Presidium Penyelamat Partai. Sebaliknya, kubu lain mencoba menggeliat melakukan perlawanan. Mereka mengibarkan bendera nilai-nilai demokrasi. Sikap politik Aburizal Bakrie yang mendukung pemilihan kepala daerah oleh DPRD menjadi sasaran tembak. Demikian juga dengan fenomena aklamasi pemilihannya. Mereka berargumen Golkar tidak boleh menjadi pengkhianat demokrasi.

Untuk membuktikan keseriusan perlawanan mereka, Presidium mengadakan Munas IX tandingan di Ancol, Jakarta. Di sini, mekanisme terbuka dilakukan sebagai peluru yang dibidikkan ke Aburizal Bakrie yang dipilih secara aklamasi. Agung Laksono akhirnya terpilih sebagai ketua umum secara demokratis mengalahkan Priyo Budi Santoso dan Agus Gumiwang Kartasasmita.

Fenomena keterbelahan Golkar tersebut, sama dengan hasrat politik para bupati, wali kota, gubernur, dan presiden untuk mempertahankan kekuasaan selama memungkinkan (sesuai dengan aturan adalah dua periode), sebenarnya berakar jauh dalam sosialisasi keluarga, sekolah, dan lingkungan.

Para orangtua, misalnya, meskipun bangsa ini telah merdeka dan menjelma menjadi republik, secara umum dan tradisional tetap saja menginginkan anaknya dadi wong (menjadi orang). Maknanya, menjadi pegawai negeri, pejabat pemerintah, dan dalam perkembangannya termasuk menjadi ketua partai politik. Harapan orangtua tanpa kita sadari menyelusup ke dalam alam bawah sadar dan menjadi cita-cita kita sendiri.

Tidak mengherankan apabila banyak orang berkeinginan menjadi pejabat. Mereka berebut mendirikan partai politik dan mencalonkan diri menjadi presiden. Di tingkat lebih rendah, banyak orang bergabung ke dalam partai untuk bisa maju memperebutkan kursi eksekutif ataupun legislatif. Bahkan, banyak orang mendukung calon presiden bukan karena cita-cita luhur ingin melihat bangsa Indonesia lebih adil dan makmur, melainkan karena ingin jadi menteri.

Sehubungan dengan hal tersebut, penyatuan hati dan tangan mereka untuk bekerja bagi rakyat patut dipertanyakan. Hal itu karena cita-cita mereka sejak kecil adalah sekadar menjadi pejabat dan bukan bekerja untuk rakyat. Setelah menjadi pejabat, mereka merasa cita-citanya sudah tercapai. Mereka miskin inisiatif, malas melayani rakyat, dan menolak hak rakyat yang ingin terlibat dalam pembuatan kebijakan.

Padahal, sebagai pejabat, meminjam istilah yang mencuat dalam pertunjukan seni di Omah Petruk asuhan Romo Sindhunata, Karang Klethak, Pakem, Yogyakarta, seharusnya tidak hanya melihat perikehidupan rakyat dengan mata terbuka, tetapi juga dengan mata hati. Mata terbuka justru harus ditutup karena semu dan sering menipu. Sebaliknya, mata hati ibarat Mbok Turah yang tidak pernah kehabisan rezeki meskipun dibagikan kepada sebanyak mungkin orang yang susah dan miskin.

Kultur kekuasaan yang bersifat tunggal dan tak terbagi secara hipotesis memang membuka peluang pejabat hanya membangun patronase dan tidak bekerja keras pada periode kedua. Oleh karena itu, kontrol media dan masyarakat sipil terhadap kinerja mereka adalah mutlak. Tanpa itu, rakyat akan pesimistis karena menyaksikan elite yang tidak bekerja untuk mereka, tetapi justru sibuk saling membuat rapat tandingan!

Sukardi Rinakit
Chairman Soegeng Sarjadi Syndicate

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Prabowo Klaim Perolehan Suaranya yang Capai 58,6 Persen Buah dari Proses Demokrasi

Prabowo Klaim Perolehan Suaranya yang Capai 58,6 Persen Buah dari Proses Demokrasi

Nasional
Hakim MK Hanya Dalami 14 dari 33 'Amicus Curiae'

Hakim MK Hanya Dalami 14 dari 33 "Amicus Curiae"

Nasional
Dituduh Pakai Bansos dan Aparat untuk Menangkan Pemilu, Prabowo: Sangat Kejam!

Dituduh Pakai Bansos dan Aparat untuk Menangkan Pemilu, Prabowo: Sangat Kejam!

Nasional
Sebut Pemilih 02 Terganggu dengan Tuduhan Curang, Prabowo: Jangan Terprovokasi

Sebut Pemilih 02 Terganggu dengan Tuduhan Curang, Prabowo: Jangan Terprovokasi

Nasional
[POPULER NASIONAL] Anggaran Kementan untuk Bayar Dokter Kecantikan Anak SYL | 'Amicus Curiae' Pendukung Prabowo

[POPULER NASIONAL] Anggaran Kementan untuk Bayar Dokter Kecantikan Anak SYL | "Amicus Curiae" Pendukung Prabowo

Nasional
Tanggal 21 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Tanggal 21 April 2024 Memperingati Hari Apa?

Nasional
Prabowo Minta Pendukung Batalkan Aksi di MK

Prabowo Minta Pendukung Batalkan Aksi di MK

Nasional
Gagal ke DPR, PPP Curigai Sirekap KPU yang Tiba-tiba Mati Saat Suara Capai 4 Persen

Gagal ke DPR, PPP Curigai Sirekap KPU yang Tiba-tiba Mati Saat Suara Capai 4 Persen

Nasional
Respons PDI-P soal Gibran Berharap Jokowi dan Megawati Bisa Bertemu

Respons PDI-P soal Gibran Berharap Jokowi dan Megawati Bisa Bertemu

Nasional
GASPOL! Hari Ini: Keyakinan Yusril, Tinta Merah Megawati Tak Pengaruhi MK

GASPOL! Hari Ini: Keyakinan Yusril, Tinta Merah Megawati Tak Pengaruhi MK

Nasional
Tak Banyak Terima Permintaan Wawancara Khusus, AHY: 100 Hari Pertama Fokus Kerja

Tak Banyak Terima Permintaan Wawancara Khusus, AHY: 100 Hari Pertama Fokus Kerja

Nasional
Jadi Saksi Kasus Gereja Kingmi Mile 32, Prngusaha Sirajudin Machmud Dicecar soal Transfer Uang

Jadi Saksi Kasus Gereja Kingmi Mile 32, Prngusaha Sirajudin Machmud Dicecar soal Transfer Uang

Nasional
Bareskrim Polri Ungkap Peran 5 Pelaku Penyelundupan Narkoba Jaringan Malaysia-Aceh

Bareskrim Polri Ungkap Peran 5 Pelaku Penyelundupan Narkoba Jaringan Malaysia-Aceh

Nasional
Usulan 18.017 Formasi ASN Kemenhub 2024 Disetujui, Menpan-RB: Perkuat Aksesibilitas Layanan Transportasi Nasional

Usulan 18.017 Formasi ASN Kemenhub 2024 Disetujui, Menpan-RB: Perkuat Aksesibilitas Layanan Transportasi Nasional

Nasional
Ketua KPU Dilaporkan ke DKPP, TPN Ganjar-Mahfud: Harus Ditangani Serius

Ketua KPU Dilaporkan ke DKPP, TPN Ganjar-Mahfud: Harus Ditangani Serius

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com