JAKARTA, KOMPAS.com — Pemerintahan Joko Widodo memfokuskan upaya penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) melalui rekonsiliasi daripada penegakan hukum. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Tedjo Edhi Purdijatno menganalogikan upaya penanganan kasus-kasus HAM jangan sampai seperti tarian poco-poco.
"Jangan seperti tarian poco-poco, maju mundur. Kapan majunya negara ini kalau hanya mencari-cari kesalahan. Artinya kita lihat, yang sudah bersalah kan sudah, sudah dihukum sudah selesai. Jangan diungkit lagi masalah itu," ujar Tedjo di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (4/12/2014).
Menurut Tedjo, apabila kasus HAM dilakukan dengan pendekatan hukum, tak akan ada habisnya. Pasalnya, banyak kasus masa lalu yang nantinya harus dijawab.
"Kalau mencari masa lalu kenapa nggak mencari zamannya itu, Westerling yang berapa puluh ribu warga kita habis di sana. Tidak akan pernah selesai kalau kita melihat ke belakang," ungkap Tedjo.
Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Laut itu juga mengaku, pemerintah belum berencana untuk membentuk pengadilan HAM Ad-hoc. Menurut dia, apa yang diwacanakan pada pemerintahan lalu jangan dibebankan kepada pemerintahan saat ini.
"Jangan yang lalu dibawa ke sini, kita di sini nggak ngerti. Nggak ngerti dipaksakan itu kan nggak enak," kata dia.
Sebelumnya, Sumarsih, ibunda BR Norma Irmawan (Wawan), yang menjadi korban Semanggi I, menuliskan opini di harian Kompas yang menuntut realisasi janji kampaye Presiden Jokowi. (Baca: Menanti Komitmen JKW-JK Menuntaskan Kasus Tragedi Semanggi)
Dia menulis, dalam visi, misi, dan program aksi, JKW-JK berkomitmen menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu dan menghapus semua bentuk impunitas.
Sekretaris Kabinet Andi Widjajanto membantah pemerintah melupakan komitmennya tehadap penanganan kasus pelanggaran HAM pada masa lalu. Menurut Andi, dalam waktu dekat, Jokowi akan secara khusus bicara soal kasus-kasus pelanggaran HAM tersebut. (Baca: Presiden Jokowi Akan Bicara soal Kasus Pelanggaran HAM Masa Lalu)