Pandangan ini disetujui baik oleh mereka yang mendukung figur calon dari dalam Kejaksaan Agung maupun mereka yang mendukung calon dari luar. Sesungguhnya, keinginan memiliki Jaksa Agung yang ideal itu merupakan kehendak yang terus hidup dalam hati sanubari rakyat Indonesia. Aspirasi itu merupakan penolakan keras terhadap penyalahgunaan institusi ini selama hampir 40 tahun oleh para penguasa otoritarian Demokrasi Terpimpin dan otoritarian Orde Baru.
Selama empat dasawarsa, rakyat Indonesia menyaksikan Jaksa Agung sebagai institusi jadi garda hukum terdepan bagi perwujudan stabilitas politik dan keamanan yang dikehendaki oleh penguasa. Juga jadi instrumen hukum untuk menghabisi lawan-lawan politik dan mereka yang kritis terhadap pemerintah.
Pada kurun itu, Jaksa Agung semata mengabdi pada kepentingan kekuasaan, tidak pada kepentingan hukum dan keadilan sebagaimana amanat UUD 1945, dan akhirnya Jaksa Agung terbelenggu dalam pusaran praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Masih jauh dari harapan
Sejak awal reformasi pada 1998 hingga kini, koalisi masyarakat sipil, para penegak hukum—termasuk para jaksa—berusaha mengakhiri praktik penyalahgunaan institusi Jaksa Agung yang telah berjalan hampir empat dasawarsa itu. Upaya yang ditempuh dengan membangun dan mengembangkan institusi Jaksa Agung yang mampu mengedepankan nilai dan norma demokrasi, kedaulatan hukum, dan keadilan. Itu berarti membangun dan mengembangkan struktur dan kultur organisasi kejaksaan baru yang tanggap terhadap tuntutan demokrasi, supremasi hukum, dan keadilan.
Roh reformasi kejaksaan itu di tuangkan dalam Undang-Undang Kejaksaan (UU No 16/2004), yang menegaskan bahwa kejaksaan merdeka dalam melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan UU. Kata merdeka ditegaskan, yang bermakna bahwa jaksa itu bebas dari pengaruh kekuasaan pihak mana pun. Inilah jiwa adhyaksa yang bermakna ia hanya mengabdi pada kepentingan hukum, keadilan, demokrasi, dan perlindungan HAM.
Menurut UU Kejaksaan 2004, Jaksa Agung punya tugas dan wewenang, antara lain: (a) menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan; (b) mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan UU; (c) mengesampingkan perkara demi kepentingan umum; dan lain sebagainya. Selain UU itu, berbagai program pelatihan dan pembaruan prosedur serta pengawasan internal dan eksternal melalui komisi kejaksaan dilakukan guna mewujudkan korps adhyaksa yang independen dan profesional.
Namun, sampai saat ini usaha tersebut masih jauh dari harapan. Ditengarai kejaksaan belum sepenuhnya berjaya dalam mengakhiri praktik paternalisme buruk penyebab korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Dalam kaitannya dengan HAM, Jaksa Agung dan jajarannya belum berhasil mengubah penampilan dan citranya sebagai garda terdepan impunitas pelanggaran HAM, khususnya pelanggaran berat HAM. Lebih dari itu, dalam hubungannya dengan pemerintah, Jaksa Agung dan jajarannya masih dipersepsi oleh publik sebagai alat kekuasaan yang selalu dapat disalahgunakan.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan