Sejumlah kebijakan Partai Golkar yang dihasilkan dalam masa kepemimpinan Aburizal Bakrie tidak berbanding lurus dengan hasil yang dicapai pada tahun politik 2014. Elitisme dan pragmatisme kepartaian yang cukup mentradisi menampakkan wajah Partai Golkar yang tidak lagi aspiratif terhadap berbagai masukan yang justru lahir dari rahim konstituennya.
Setelah kisruh pemecatan menuai polemik dan kontroversi, Partai Golkar turut mendorong pengesahan RUU Pilkada yang mengembalikan kewenangan pemilihan gubernur, bupati, dan wali kota di tangan DPRD. Sebuah keputusan yang berpotensi mencederai, memasung, dan mengembalikan tradisi rezim otoritarian masa lalu.
Pemecatan terhadap Agus Gumiwang dan Nusron Wahid dan keputusan untuk mendukung pilkada lewat DPRD tentu saja mengeliminasi potensi suara Partai Golkar ke depan.
Tidak hanya itu, keputusan sepihak elite Partai Golkar yang me-reshuffle para ketua dewan pimpinan daerah (DPD) II yang tidak sejalan dengan kebijakan pragmatis Partai Golkar pun secara langsung akan memengaruhi keterwakilan suara Partai Golkar pada tingkar akar rumput di daerah.
Perilaku politik elite Partai Golkar sudah mencerminkan perilaku otoriter dan despotik. Kesewenang-wenangan tidak sekadar menggerus wajah Partai Golkar, tetapi juga menyisakan kekecewaan bagi sebagian besar komponen Partai Golkar yang terepresentasi di tingkat bawah melalui peran vital ketua DPD II.
Kondisi inilah yang semakin menggerus kepentingan Partai Golkar ke depan. Upaya membangkitkan gairah dan energi dari keterpurukan akan menuai jalan terjal mengingat potensi dan mesin kepartaian semakin lama semakin terdegradasi oleh kebijakan yang salah arah. Kondisi ini juga telah mendegradasi daya saing dan nilai tawar Partai Golkar.
Dinamika internal Partai Golkar yang semakin berkembang menunjukkan bahwa kondisi ini tidak lagi cukup dipandang sebelah mata, atau bahkan sebagai rongrongan dan ancaman, melebihi maksud dan itikad baik yang tulus demi kebaikan Partai Golkar masa datang.
Pada gilirannya, kondisi ini memerlukan penyelamatan yang signifikan. Mekanisme dan manajemen kepartaian memerlukan ”suasana baru”. Penyelamatan itu hanya bisa dilakukan dengan membersihkan seluruh anasir yang merupakan bagian dari kekeliruan selama ini.
Agenda penyelamatan Partai Golkar inilah yang perlu segera dilakukan melalui agenda Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar. Munas ke-9 menjadi tonggak awal konstitusional untuk membangun kembali serpihan-serpihan keterpurukan Partai Golkar demi kejayaan masa depan.
Momentum itu pula yang akan menjadi titik balik bagi perbaikan manajemen internal kepartaian yang berperan dan berperilaku untuk kepentingan partai, bukan kepentingan pribadi, kelompok, ataupun golongan.
Yorrys Raweyai
Ketua DPP Partai Golkar