Sejatinya iman yang bersemai dalam diri kita—merujuk pemikiran Gustavo Guetierrez dalam buku Teologi Pembebasan—perlu dimanifestasi sebagai gerakan pembebasan rakyat dari belenggu keterbelakangan dan ketidakberdayaan supaya keimanan kita menjadi rahmat bagi yang lain. Dengan demikian, upaya kita akan melahirkan amal jariyah yang akan terus mengalir, bahkan menjadi ladang investasi kebaikan di hadapan Tuhan.
Dalam kaitan ini, kehadiran Bung Tomo dan pejuang lainnya dalam simbol historis kepahlawanan adalah sosok yang berupaya mengimplementasikan nilai-nilai keimanan yang membebaskan. Dalam laku perjuangan dan pengorbanannya memuat ajaran kemanusiaan yang berkeadaban dan kemaslahatan yang menjunjung tinggi keadilan. Nilai-nilai keimanan yang melandasi asas keagamaan tidak hanya diimplementasikan pada wilayah ritus ibadah, tetapi diletakkan pula pada spirit besar dalam membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.
Dalam konteks kekinian, lesson learned yang perlu disematkan dalam sanubari kita adalah bagaimana semangat kepahlawanan yang pernah digelorakan para pahlawan untuk membebaskan Tanah Air dari penjajahan perlu direvitalisasi dan direaktualisasi sebagai cara untuk membebaskan masyarakat dari mata rantai pembodohan, memperdayai, dan menyeret dalam ruang adu tanding kelompok kepentingan yang berdampak koyaknya semangat nasionalisme.
Kekuasaan yang berada di wilayah eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus dijadikan sebagai sarana eksplorasi semangat kepahlawanan yang kontekstual dalam memperjuangkan nasib rakyat dan mengorbankan nasib diri sendiri untuk kebaikan bersama. Dengan demikian, wujud membela Tanah Air sebagaimana yang pernah ditunjukkan pahlawan pada masa lalu dapat kita implementasikan secara berkelanjutan demi tercapainya cita-cita bersama menuju Indonesia yang lebih hebat.
Fathorrahman Ghufron
Dosen Sosiologi Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga; A’wan Syuriyah PWNU Yogyakarta